Agus Ahmad Syifaul Linnas

Laki-laki, 19 tahun

Bandar Lampung, Indonesia

Banggalah pada dirimu sendiri, Meski ada yang tak Menyukai. Kadang mereka membenci karena Mereka tak mampu menjadi seperti dirimu.
::
Start
Agus Ahmad Syifaul Linnas
Shutdown

Search This Blog

Rabu, 21 Desember 2016

Implementasi Nilai-nilai Islam dalam Kepemimpinan Efektif


Implementasi Nilai-nilai Islam dalam Kepemimpinan Efektif




Pemimpin dan Kepemimpinan
a. Pengertian dan Ciri Pemimpin
Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua kosa kata yang memiliki pengertian yang berbeda. Pemimpin menurut Schneider, et.al.didepinisikan sebagai berikut : A leader is depined as the individual formally given certain status throught election, appoinment, inheritance, revolution, or any number of other means.[1] (Seseorang yang secara formal diberi status tertentu melalui pemilihan, pengangkatan, keturunan, revolusi, atau cara-cara lain). Sedangkan kepemimpinan adalah : Leadership refers to those behavior performed by one or more individuals in the group which helps the group accomplish its goals.[2] (Kepemimpinan mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan sesorang atau lebih dari individu dalam suatu kelompok yang membantu kelompok mencapai tujuan).
Dari pengertian di atas jelas, bahwa pemimpin (leader) merupakan  status yang disandang seseorang karena menjadi kepala, ketua, direktur, atau manajer pada suatu organisasi atau lembaga, sedangkan kepemimpinan (leadership) lebih merupakan tindakan dan perilaku yang ditampilkan ketika berinteraksi dengan orang lain, baik antara sesama pemimpin maupun dengan bawahan.
Sebenarnya terdapat banyak pengertian mengenai kepemimpinan ini menurut para ahli,[3] namun semuanya mengarah kepada suatu tugas utama pemimpin yaitu bagaimana agar ia dapat menguasai dan mempengaruhi orang lain secara efektif. Hal ini dapat ditunjukkan  pada sikap dan kemampuan pemimpin serta sifat dari organisasi yang dipimpinnya. Sebab seseorang yang memimpin organisasi militer  pasti ia akan memerlukan kemampuan dan kecakapan yang berbeda bila diperhadapkan dengan sekelompok peneliti misalnya.
Perbedaan sifat organisasi yang dipimpin dan kecakapan serta kemampuan seorang pemimpin disertai perbedaan lingkungan itulah yang merupakan sudut perbedaan para pakar melihat kepemimpinan itu.
Begitu pula dalam melihat ciri atau sifat dari seorang pemimpin yang baik atau efektif. Para pakar mencoba mengidentifikasi faktor-faktor tertentu untuk digunakan dalam meramalkan kepemimpinan yang efektif.  Misalnya pemimpin itu adalah orang yang perawakan tinggi, namun asumsi ini terbantahkan dengan kehadiran pemimpin yang berperawakan pendek seperti Napoleon, prof. Habibi, dan Aroyo yang pendek. Demikian juga pemimpin itu katanya harus gemuk besar, asumsi inipun terbantahkan dengan kehadiran Abraham lincoln, George W. Bush, serta Gho Chok Tong yang kurus langsing. Kenyataan-kenyataan itu menunjukkan ketidakkonsistenan dari ciri atau sifat kepemimpinan yang diidentifikasi. Karena itu dalam memilih dan mengangkat seorang pemimpin, maka  langkah penting yang harus dilakukan adalah bersikap hati-hati dan bijaksana dan jangan bertindak apriori.  Sebab itu ada slogan bahwa “pemimpin itu dilahirkan” tidak selamanya betul, karena sekarang telah ada pameo “pemimpin itu diciptakan”. Siapapun orangnya bila diciptakan (dibentuk, digembleng, dan dibina ) pasti dapat menjadi pemimpin dan mungkin lebih efektif dan produktif..
Walaupun hasil riset tidak mengungkapkan satu-satunya sifat yang dimiliki oleh pemimpin yang berhasil (efektif), namun sejumlah ciri dapat dikemukakan sebagai ciri umum yang dimiliki oleh kebanyakan diantara mereka. Ciri-ciri tersebut adalah: kelancaran berbicara, kemampuan untuk memecahkan masalah, kesadaran akan kebutuhan, keluwesan, kecerdasan, kesediaan untuk menerima tanggung jawab, ketrampilan sosial, serta kesadaran akan diri dan lingkungan. [4]
Begitu pula seperti yang ditetapkan oleh sekelompok ilmuan sosial dan pendidikan yang bertemu di Sacramento di akhir tahun 1979 yang berusaha merumuskan suatu profil definitif mengenai sifat kepemimpinan. Dari pertemuan itu, mereka berhasil mengidentifikasi beberapa ciri potensi kepemimpinan yang tinggi, yaitu:
  1. Dihormati oleh teman sejawat, gagasannya dicari orang
  2. Berani ambil risiko, mandiri
  3. Giat, penuh semangat dan tekun
  4. Tahu apa yang terjadi; menyadari nuansa dalam lingkungan dan orang lain
  5. Mempengaruhi, dapat mendominasi, menyukai kekuasaan
  6. Percaya diri
  7. Bertanggung jawab
  8. Mempunyai banyak gagasan dan pandangan ke dalam
  9. Tegas
10. Diplomatis dalam hubungannya dengan teman sejawat dan kelompok
11. Sangat tersusun dan terorganisasi
12. Bersikap luwes.[5]
Selain itu ada sebahagian ahli yang mengedepankan beberapa ciri yang dimiliki oleh pemimpin yang baik dan dijadikan point ketika menilai orang-orang yang dipersiapkan sebagai calon pemimpin dalam diklat-diklat kader. Mereka yang direkrut paling sedikit memiliki tiga ciri, yaitu: Persepsi sosial; yakni kecakapan dalam melihat dan memahami perasaan, sikaf dan tingkah laku orang lain. Kemampuan berfikir abstrak; yakni kemampuan untuk membaca penomena yang bakal terjadi. Dengan kata lain memiliki kemampuan untuk melihat apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.Dan Keseimbangan emosional; yaitu mereka yang mempunyai pandangan positif (husnuzzhon) terhadap orang lain atau yang memiliki perasaan seimbang dalam melihat sesuatu.[6]
Karena itu seseorang yang mempunyai reputasi pemimpin, idealnya selain harus memiliki perilaku dan wibawa leadership, ia juga dipastikan telah memiliki sifat atau ciri-ciri minimal yang dapat dijadikan indikator sukses memimpin. Sebab dengan begitu proses rekruitmen calon menjadi lebih mengarah ke bagaimana menemukan pemimpin yang unggul dari dimensi kapabilitas, kredibilitas, dan akseptabilitas.
b. Kepemimpinan dan Manajemen
Banyak literatur yang mencoba mengungkapkan apa persisnya manajemen itu. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa manajemen adalah proses pencapaian tujuan organisasi melalui kegiatan orang lain, atau manajemen adalah suatu proses untuk melaksanakan tujuan tertentu, dimana tujuan itu diselenggarakan dan diawasi.[7] Bila ditelusuri lebih jauh dalam literatur lain, maka istilah manajemen dapat didepinisikan dari tiga perspektif. Pertama; menurut perspektif proses; dari sudut ini manajemen dapat diartikan sebagaimana disebutkan di atas. Yakni manajemen adalah proses pencapaian tujuan melalui kegiatan orang lain, dimana kegiatan itu diawasi dan diselenggarakan.[8] Begitu pula definisi yang dikemukakan oleh Robert L. Trewathn dan M. Gene Newport yang dikutip oleh Prof. Winardi, bahwa manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, serta mengawasi aktivitas-aktivitas sesuatu organisasi dalam upaya mencapai suatu koordinasi sumber-sumber daya manusia dan sumber-sumber daya alam dalam hal pencapaian sasaran secara efektif dan efisien.[9]
Kedua; definisi dari perspektif kolektivitas orang, dari sudut ini  manajemen dapat diartikan sebagai kolektivitas orang yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan manajerial. Ini adalah makna plural dari kata manajemen, sementara makna singular-nya adalah manajer, yaitu seseorang yang diserahi tugas dan tanggung jawab mengelola suatu bidang atau unit tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dan ketiga; pengertian manajemen menurut perspektif sebagai seni dan ilmu.[10] Sebagai seni, manajemen terimplementasi dalam bentuk kiat-kiat tertentu atau ketrampilan-ketrampilan pengelolaan berdasarkan pengalaman orang per orang dalam bidang-bidang yang digeluti yang telah menghasilkan manfaat-manfaat yang diterima. Dan manajemen sebagai ilmu, yakni terlihat pada penerapannya dengan proses mengobservasi, mengumpulkan , dan menganalisis data, penomena-penomena, kejadian-kejadian dan lain-lain kemudian diambil beberapa kesimpulan yang mendukung tujuan yang hendak dicapai. Demikianlah beberapa persfektif makna yang terkandung dalam istilah manajemen yang dikemukakan para pakar.
Dari pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa manajemen itu sesungguhnya merupakan suatu seni dan ilmu serta posisi dalam mengelola sejumlah sumberdaya yang terdapat pada suatu organisasi/lembaga secara efektifisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sementara kepemimpinan sebagaimana disebutkan di atas merupakan suatu sikap atau perilaku mempengaruhi orang-orang dalam rangka mencapai suatu tujuan. Pengertian ini memiliki implikasi, bahwa kepemimpinan dapat terimplementasi dan ditemui dimana saja, baik pada suatu lembaga formal maupun non formal bahkan dalam perilaku hidup keseharian dalam  masyarakat. Ia tidak hanya terdapat pada lembaga-lembaga birokrasi yang memiliki setumpuk peraturan yang kaku, seperti yang dipraktekkan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Juga tidak hanya terdapat di lembaga-lembaga swasta yang memberikan peluang bagi karyawan untuk melakukan inovasi dan kebebasan berinisiatif yang konstruktif seperti di perusahaan-perusahaan, tetapi juga dapat ditemui secara bebas dalam pergaulan hidup antar sesama. Setiap upaya sesorang untuk mempengaruhi orang lain agar orang itu melakukan apa yang ia kehendaki, maka sikap seperti ini menurut Miftah Thoha sudah disebut kepemimpinan(leadership).[11]
Taufik Bahauddin mengutip pendapat pakar manajemen Peter F. Drucker mengatakan bahwa untuk mendefinisikan kata manajemen dan kepemimpinan atau manajer dan pemimpin hanya dengan cara membolak-balikan kata. Dimana kata “pemimpin” didefenisikan dengan kata-kata doing the right things (melakukan pekerjaan yang benar), sedangkan “Manajer” doing things right (melakukan sesuatu/pekerjaan dengan benar).[12] Maksudnya, seorang manajer tugasnya adalah melakukan segala sesuatu yang ada secara benar sesuai dengan aturan, prosedur, atau police yang telah ada. Sementara pemimpin bertugas mengadakan atau menghadirkan sesuatu yang benar yang belum ada dan relevan dengan ekspektasi organisasi. Jadi manajer melakukan apa yang telah diputuskan pemimpin, dan pemimpin mengadakan apa yang belum ada dalam organisasi.
Meskipun demikian, bukan berarti seorang manajer tidak terkategori sebagai pemimpin. Pemimpin boleh bukan seorang manajer , tapi seorang manajer ia harus bisa menjadi pemimpin. Manajerlah yang mengelola segala sesuatu yang ada dalam organisasi, baik berupa sumberdaya material maupun manusianya. Karena itu terkait dengan sumberdaya manusia, seorang manajer harus mampu mempengaruhi dan memotivasi bawahan sehingga mereka dapat bekerja secara baik. Atau dengan kata  lain manajer harus mempunyai kemampuan menjalin hubungan relasional dan membangun hubungan interpersonal secara efektif. Kemampuan-kemampuan seperti ini membutuhkan sikap sebagai seorang pemimpin, di mana ia harus mampu secara kreatif dan empatik memahami mind dan sens bawahan, karena pemimpin merupakan tumpuan harapan mereka. Teristimewa bagi orang, suku, atau bangsa yang berbudaya paternalistik.
Dari gambaran tersebut dapatlah dikatakan, bahwa tidak semua orang  bisa memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang sama kuatnya. Dikatakan demikian, karena menurut Ned Hermann yang lansir oleh Taufik Bahauddin dalam bukunya Brain ware Management, bahwa dalam diri seseorang telah terjadi struktur kecenderungan dominasi otak  dikala  melakukan suatu pekerjaan . Apakah otak kiri atasnya yang dominan, bawahnya atau otak kanan atas atau bawahnya, tergantung siapa orangnya.[13] Namun menurut sumber The Whole Brain Bussiness Book, 1999 yang diadaptasi oleh Taufik bahauddin disebutkan bahwa manajer dan pimpinan berbeda pada metrik potensi otak. Seorang manajer   memiliki kecenderungan dominasi otak kiri atas, yang terkategori sebagai  Analyzer (orang yang mempunyai kemampuan analisis) serta memiliki kecenderungan dominasi otak kiri bawah sebagai Organizer (orang yang mempunyai kemampuan mengorganisasi). Sedangkan Pemimpin menurutnya, memiliki 3 (tiga) kecenderungan dominasi otak. Selain otak kiri atas sebagai Analyzer, juga memiliki kecenderungan otak kanan atas dan bawah sebagai Personalizer dan Visualizer/Strategyzer. Yakni orang yang memiliki kemampuan menjalin dan membangun hubungan relasional dengan orang lain serta mampu membangun visi kedepan dengan agenda-agenda strategis.[14]
Pemimpin atau manajer yang efektif harus bisa menempatkan diri sesuai tanggung jawab yang diemban, seraya dapat mengasah dan mempertajam kemampuan-kemampuan yang semestinya menjadi basis kecenderungannya, apakah ia mengasah kemampuan analyzer dan organizer, ataukah analyzer, personalizer serta visualizer/strategyzer.
c. Kekuasaan dan Kepemimpinan
Istilah kekuasaan dan kepemimpinan terkadang secara salah  dipahami maknanya, karena keduanya berhubungan dengan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang pemimpin, penguasa, manajer, kepala, atau seorang ketua. Istilah kekuasaan (power) dirumuskan oleh Bierstedt sebagai suatu kemampuan untuk mempergunakan kekuatan.[15] Sementara Rogers mengatakan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu pengaruh.[16] Dalam kamus “Modern Dictionary of Sociology” yang dikutip oleh Salusu disebutkan bahwa Kekuasaan (power) adalah kemamampuan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan keinginan atau kebijaksanaannya, dengan mengendalikan, memanipulasi atau mempengaruhi perilaku orang lain, apakah mereka ingin bekerja sama atau tidak.[17] Atau dapat dikatakan kekuasaan adalah kewenangan yang dimiliki sesorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam suatu organisasi atau pada suatu daerah teritori.
Bila dalam memimpin, seseorang tidak dapat mempengaruhi pikiran atau sikap para bawahan terkait dengan tugas-tugasnya, maka pemimpin tersebut tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaanlah yang membuat seorang pemimpin secara formal dapat ditaati dan diikuti. Namun kekuasaan dalam bentuk ini biasanya telah diatur dengan sejumlah aturan. Aturan ini yang nanti menjadi tali pengikat sekaligus sebagai pedoman bagi pimpinan dan bawahan dalam menjalankan tugas-tugas keseharian.
Berbeda dengan pemimpin yang mengendalikan suatu kekuasaan secara informal, disini pimpinan diikuti dan di taati sepanjang ia masih memiliki kredibilitas, integritas moral, dan empati dalam bergaul dengan orang lain. Jadi kekuasaan dalam konteks ini bukan diikat oleh aturan sebagaimana dalam kekuasaan formal, namun lebih dalam bentuk sikaf dan profil yang ditampilkan. Sehingga bila sikapnya tidak mencerminkan seorang yang berwibawa, pengayom, bertanggung jawab, dan suka memperjuangkan nasib orang lain, maka pemimpin seperti ini biasanya akan ditinggalkan atau tidak memiliki basis masa yang jelas, baik dalam suatu organisasi apalagi dalam masyarakat. Sehingga dalam konteks ini menurut Prof. Imam Suprayogo bahwa kepemimpinan formal memiliki daya cakup (kekuasaan) agak terbatas karena dibatasi oleh aturan. Sementara kepemimpinan informal mempunyai ruang lingkup (kekuasaan) tanpa batas-batas resmi.[18]
Agar pola kepemimpinan dapat berjalan secara efektif, maka seyogyanya ada unsur-unsur kepemimpinan yang terimplementasi didalamnya. Unsur-unsur itu menurut Kuntjaraningrat yang diadaptasi oleh Imam Suprayogo meliputi: kekuasaan, wewenang, dan popularitas.[19] Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Karena itu, kekuasaan dan kewenangan tanpa popularitas, hanya akan mendorong  timbulnya rasa takut atau ketaatan yang bersifat semu. Rasa takut atau ketaatan terjadi karena memang aturan mengatur seperti itu, bukan popularitas dari figur pemimpin.
d. Gaya Kepemimpinan
Istilah kepemimpinan selalu merupakan suatu persoalan yang sangat krusial dalam literatur-literatur kepemimpinan. Pasalnya untuk mencari pemimpin yang baik, para ahli selalu tidak sepakat dalam menentukan ukuran-ukuran yang dijadikan sebagai prasyarat keberhasilan dalam memimpin. Meskipun demikian, gaya serta sikap seseorang yang disesuaikan dengan situasi kepemimpinannya sangat menentukan besar-kecilnya keberhasilan dalam memimpin.
Setiap pemimpin memiliki gaya yang berbeda, apakah demokratis, otoriter, atau kebapak-bapakan. Namun ada satu aspek kepemimpinan yang sangat menonjol, yakni pancaran kewibawaan. Manajer memiliki tingkat kekuasaan yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung jawabnya. Tetapi kekuasaan pemimpin sering diperoleh dari pendapat, hormat serta penghargaan disamping kekuasaan untuk mendominasi dan memerintah.[20] Karena itu Cattel mengatakan pemimpin merupakan orang yang menciptakan perubahan yang sangat efektif dalam kinerja kelompoknya.[21]
Kepemimpinan (leadership) pada dasarnya dapat dibagi kedalam beberapa gaya kepemimpinan. Menurut Gary K. Hines, bahwa dalam memimpin paling tidak ada terdapat tiga gaya, yaitu; gaya otokratik, gaya demokratik, serta gaya kendali bebas.
  1. Gaya otokratik: pemimpin otokratik membuat keputusan sendiri karena kekuasaan terpusatkan pada satu orang. Ia memikul tanggung jawab dan wewenang penuh. Pengawasan bersifat ketat, langsung dan tepat. Keputusan dipaksakan, dan bila ada komunikasi, maka hanya bersifat top down (atas–bawah), bawahan ditekan, karena itu menjadi takut dan tidak leluasa dalam berprakarsa.
  2. Gaya demokratik: pemimpin yang demokratik (partisipatif) berkonsultasi dengan kelompok mengenai masalah yang menarik perhatian mereka. Komunikasi berjalan dengan lancar sehingga saran dapat berasal dari atasan (pimpinan) kebawahan, dan sebaliknya dari bawahan keatasan. Bawahan berpartisipasi dalam menetapkan sasaran dan memecahkan masalah. Keikutsertaan ini mendorong komitmen anggota pada keputusan akhir. Pemimpin demokratis menciptakan situasi dimana individu dapat belajar, mampu memantau kinerja sendiri, mengakui bawahan untuk menentukan sasaran yang menantang, menyediakan kesempatan untuk meningkatkan metode kerja dan pertumbuhan pekerjaan serta mengakui pencapaian dan membantu pegawai belajar dari kesalahan.
  3. Gaya kendali bebas: Pemimpin dengan gaya ini ditandai dengan pemberian kekuasaan pada bawahan. Kelompok dapat mengembangkan sasarannya sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Pengarahan hanya sekedar  bahkan tidak ada sama sekali. Gaya ini biasanya tidak berguna, tetapi bisa menjadi efektif bagi kelompok profesional yang bermotivasi tinggi. [22]
Rex. P. Gato mencatat empat gaya kepemimpinan, yaitu; Gaya direktur, gaya konsultatif, gaya partisipatif, dan gaya delegasi. Secara garis besar dapat dijelaskan seabagai berikut:
1.Gaya direktif: pemimpin yang memiliki gaya direktif pada umumnya membuat keputusan-keputusan penting dan banyak terlibat dalam pelaksanaannya. Semua kegitan tepusat pada pemimpin, dan hanya terdapat sedikit kebebasan bagi orang lain untuk berkreasi dan bertindak, itupun dalam batas-batas yang dikehendaki. Pada dasarnya gaya ini adalah gaya otoriter.
2. Gaya Konsultatif: gaya ini dibangun diatas gaya direktif, namun kurang otoriter dan lebih banyak berinteraksi dengan para staf serta anggota organisasi. Pimpinan lebih banyak berkonsultasi, memberi bimbingan, memotivasi, memberi nasihat dalam rangka mencapai tujuan .
3. Gaya partisipatif: gaya partisipatif bertolak dari gaya konsultatif yang berkembang ke arah saling percaya antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin cenderung memberi kepercayaan pada kemampuan staf untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka, sementara itu kontak konsultatif tetap berjalan . Dalam gaya ini, pimpinan atau manajer lebih banyak mendengar, menerima, bekerjasama, dan memberi dorongan dalam proses pengambilan keputusan.
4. Gaya Delegasi: pemimpin dengan gaya ini mendorong kemampuan staf dalam mengambil inisiatif. Gaya ini dapat berjalan jika staf atau bawahan memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran organisasi. Karena itu pemimpin/manajer kurang berinteraksi dan melakukan kontrol terhadap bawahan secara memadai. [23]
Selain gaya-gaya tersebut, ada juga beberapa gaya yang dikemukakakn oleh Miftah Thoha, yang diyakini sebagai gaya efektif, seperti; gaya eksekutif, gaya pengembangan (develover), gaya otokratis yang baik (benevolent autocrat), serta gaya birokrat.[24] Begitu pula gaya-gaya kepemimpinan yang digolongkan oleh Miftah Thoha sebagai gaya yang tidak efektif, yakni; gaya pecinta kompromi (compromiser), gaya missionari (yang hanya menekankan pada hubungan kerja dan perhatian yang minim terhadap tujuan serta perilaku menyimpang), gaya otokrat, dan gaya deserter (lari dari tugas).[25]
Demikian pula gaya kepemimpinan dari Mc. Gregor’s yang dikenal dengan teori Z yang menghubungkan dua kutub yang berlawanan secara ekstrim (yaitu X dengan teori Y). Teori “Z” menampilkan empat gaya kepemimpinan, mulai dari gaya kepemimpinan  terpusat  sampai  dengan gaya  kepemimpinan yang memandang staf atau bawahan sebagai teman/partner kerja.[26]
Karena itu gaya kepemimpinan yang paling ideal adalah gaya kepemimpinan yang didasarkan oleh seberapa jauh seorang pemimpin memanfaatkan semua gaya dengan sebaik mungkin, tentu dengan memperhatikan situasi serta timing yang tepat untuk itu.
Nilai-nilai Islam dalam Kepemimpinan Efektif
Dalam literatur-literatur manajemen banyak dibentangkan prinsip-prinsip pokok yang mendasari perilaku keseharian dari para pemimpin yang dipandang sukses dalam me-manage organisasi mereka. Prinsip-prinsip itu antara lain seperti; seorang pemimpin  harus cerdas, memiliki visi yang jelas, penuh inisiatif, rela berkorban, bertanggung jawab, percaya diri, tanggap, empati, inovatif, toleran, sederhana, dan seterusnya.
Di dalam Islam, prinsip-prinsip ini sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap muslim. Sebab tanpa prinsip-prinsip tersebut, umat islam tidak bisa menjadi  wakil tuhan (khalifah) untuk mengelola alam jagad ini secara baik, sekaligus tidak dapat menjadi hamba (a’bid) yang muttaqin. Kedua predikat itu (khalifah dan a’bid) tidak dapat diraih oleh seorang muslim kecuali mereka yang memiliki prinsip-prinsip tersebut. Didalam Islam Nilai/prinsip-prinsip itu dapat kita temukan, baik secara tersurat maupun secara tersirat termaktub dalam ayat-ayat Alquran dan hadis. Nilai/prinsip yang  termaktub dalam ayat-ayat dan hadis itu antara lain sebagai berikut:
  1. Cerdas
Cerdas atau mampu merupakan suatu prinsip/nilai yang dalam Islam menempati posisi yang sangat penting sekaligus mendapat apresiasi yang sangat tinggi. Prinsip ini demikian penting dan tinggi karena urgensinya secara fundamental meliputi semua ranah kehidupan manusia. Manusia tidak akan sukses meraih apa yang ia inginkan manakala ia tidak cerdas dan mampu mengelolanya secara baik.
Dalam Alquran ayat yang mengisyaratkan nilai/prinsip itu, antara lain sebagai berikut:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ (33)
Artinya :
Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS. Al-Rahman (55): 33).
Ayat diatas mengingatkan manusia bahwa apa saja yang dipikirkan dan dibayangkan dalam bentuk visi dan misi semuanya bisa menjadi kenyataan, asalkan manusia memiliki sulthan (kekuatan/kemampuan). Kemampuan merupakan kriteria dasar bagi setiap pemimpin dalam mengelola serta mengembangkan organisasi/institusi. Kemampuan oleh para ahli dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) jenis.[27] Kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual. Ketiga kemampuan ini harus dimiliki oleh setiap pemimpin di setiap level kepemimpinan. Ia harus mempunyai akal dan pikiran yang cerdas, karena dengan itu ia bisa merencanakan, mengorganisir, dan mengendalikan organisasi secara rasional, tidak menghayal dan membabi buta dalam membuat police atau kebijakan. Dengan berfikir rasional, seorang pemimpin dapat membuat prediksi-prediksi yang visible, sehingga  dapat dijadikan dasar dalam bertindak.
Mengandalkan kemampuan intelektual saja bagi seorang pemimpin/manajer tidak akan cukup untuk membawa lembaga/organisasi mencapai kesuksesan. Mengapa demikian ?. Hal ini disebabkan suatu kesuksesan yang diperoleh bukan sekedar karena manajer atau pemimpin mampu menata serta mengembangkan aspek-aspek organisasi tertentu secara rasional, seperti membuat prediksi, ramalan-ramalan, dan prakiraan-prakiraan. Namun lebih dari itu, ada aspek-aspek organisasional tertentu yang membutuhkan penanganan dengan sentuhan-sentuhan emosi, seperti memotivasi bawahan/karyawan, memunculkan rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab terhadap organisasi (sens of belonging and sens of responsibility), membuat kebijakan-kebijakan simpatik, baik terhadap anggota organisasi maupun bagi masyarakat lingkungan sebagai stakeholder. Banyak pemimpin yang gagal mengeksplorasi aspek-aspek emosi ini, yang kemudian berakibat pada demonstrasi dan unjuk rasa karyawan yang tidak menguntungkan bahkan berakibat fatal bagi keberadaan serta keberlangsungan organisasi. Semua manajer/pemimpin tidak menghendaki kejadian seperti itu terjadi dan dialami organisasi yang mereka pimpin, jika saja mereka mau mengembangkan kemampuan atau kecerdasan emosionalnya bersamaan dengan kemampuan intelektual dalam kepemimpinan mereka.
Sama halnya dengan kemampuan spiritual, sebahagian orang sangat menaruh harapan besar terhadap kemampuan ini. Bahwa bila sikap spiritual seseorang muncul, seperti senantiasa mendekatkan diri kepada tuhan, selalu bertawakal kepada-Nya, bertindak dan berbuat karena tuhan, menganggap semua sarwa yang ada adalah milik tuhan serta sadar bahwa  pada saatnya nanti semua pekerjaan yang dilakukan pasti akan  dimintai pertanggung jawabannya kelak dihadapan tuhan. Kesadaran seperti ini  dapat memunculkan perilaku yang positif, seperti berprasangka baik, selalu berbuat yang terbaik, optimis, rela berkorban, iklas dalam menjalankan tugas, kesederhanaan, arif dalam bertindak, humanis, memiliki komitmen yang tinggi, menghargai orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap ini merupakan representasi dari kualitas iman yang dimiliki seseorang.
Orang yang beriman atau kemampuan spiritualnya baik, senantiasa merasa berkewajiban untuk mengawal dirinya dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak berguna, apalagi yang bertentangan dengan pesan-pesan agama. Mereka beranggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan demikian dapat menjauhkan dirinya dari rahmat dan kasih sayang tuhan. Karena itu, kecerdasan spirituallah yang harus memberi arah (visi) bagi  kecerdasan intelektual dan emosional seseorang. Jarang orang mempunyai kemampuan/kecerdasan emosional dapat mendorong lahirnya kemampuan/kecerdasan spiritual yang baik. Meskipun begitu, kemampuan spiritual tidak bisa mewakili kemampuan emosional, sebab ada perilaku emosional tertentu seperti kemampuan menjalin hubungan, mampu berkomunikasi secara baik, dan kemampuan memotivasi, tidak sepenuhnya akan diperoleh secara baik dari kemampuan spiritual.
Mengandalkan kecerdasan emosional saja tidaklah cukup, khususnya bagi perkembangan kejiwaan yang berdimensi ketuhanan. Sebab kecerdasan ini lebih berpusat hanya pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial), sementara ada dimensi lain yang tidak kalah penting bagi manusia yang bersifat vertikal. Kemampuan dalam membangun hubungan vertikal inilah yang sering dikenal dengan istilah kecerdasan spiritual (spiritual quotient).[28]
Dalam Alquran dikatakan: “kamu akan ditimpa kehinaan dimana saja kamu berada, kecuali kamu menjalin hubungan secara Vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia”. (QS. Al-Imran (3): 112).
Oleh karena itu, kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual secara simultan harus dimiliki seorang pemimpin, karena ketiga bentuk kemampuan/kecerdasan ini saling mendukung dan melengkapi dalam proses  keberhasilan dan kesuksesan seseorang membawa organisasi mencapai tujuan.
Penelitian menunjukkan menurut Agus Ngermanto, bahwa persentase kemampuan kognitif murni (intelektual) yang membuat unggul orang-orang dengan kinerja terbaik hanya  mencapai 27 persen, sementara keunggulan emosi mencapai 53 persen.[29] Artinya kecakapan emosional sumbangannya dua kali lipat  energinya dari kecakapan intelektual. Sehingga keunggulan dan keberhasilan seorang manajer atau pemimpin 80 persen ditentukan oleh emosi serta kognitifnya. Bila demikian, berarti keberhasilan pekerjaan seseorang yang bintang kinerja baru mencapai titik angka 80. Untuk memenuhi titik sempurna 100 persen mungkin saja harus ditambah dengan kecakapan spiritual sebagaimana disebutkan diatas.
Tiga kemampuan ini berada pada otak manusia, seperti Neocortex (otak rasional) dan Sistem Limbic (otak emosional),[30] serta eksistensi GodSpot(pusat spiritual) yang baru ditemukan tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University.[31] Keberdayaan tiga potensi otak ini secara baik  dapat melahirkan manajer atau pemimpin-pemimpin yang efektif.
  1. Visioner
Visi merupakan konsep imajinasi seseorang atau beberapa orang pemimpin tentang masa depan dari suatu organisas/lembaga yang dipimpin. Akan seperti apakah lembaga yang dipimpinnya dimasa yang akan datang. Karena itu, kewajiban utama seorang pemimpin/manajer adalah bagaimana memperjuangkan serta mempertahankan visinya agar bisa tercapai. Kemampuan mempertahankan serta memperjuangkan visi ini sama seperti dalam Islam, seseorang yang telah berikrar  beriman hanya kepada Allah tidak kepada selain-Nya (laa ilaha illallah), tanpa mengenal ruang dan waktu. Dimana dan kapan saja iman ini harus tetap menjadi landasan semua aktivitas. Iman merupakan visi yang senantiasa harus dipertahankan dan diperjuangkan. Iman yang benar dan kokoh akan menjadi dasar untuk menggapai kebahagiaan (keberhasilan). Seseorang yang beriman hanya kepada Allah tidak akan mudah terpengaruh pada kepentingan-kepentingan sesaat (vested interest) yang menggiurkan namun berdemensi pendek. Seperti dilansir pada QS. An-Nisaa’(4): 137  (innallazina a’manuu tsumma kafaruu, tsumma a’manuu tsumma kafaruu tsumma zdadu kufran). Ia beriman kepada Allah kemudian ingkar (tidak commmitted dengan visinya), beriman lagi, kemudian kafir lagi, sehingga komitmennya mengalami proses degradasi dan berakhir dengan penyimpangan dari substansi visi yang ia emban. Komitmen seperti ini merupakan awal dari sebuah kehancuran. Dalam Alquran dikatakan: Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip/mempunyai visi) bahwa tuhan pemelihara kami adalah Allah, kemudian istiqamah (committed) dengan prinsip (visi) itu akan turun kepada mereka malaikat dengan berkata) janganlah takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan syurga yang dijanjikan” (QS. Fushshilat (41): 30).
Pemimpin yang baik harus memiliki visi yang baik dan menunjukkan komitmennya (visioner) sebagaimana Islam menuntut agar umatnya harus beriman kepada Allah dengan iman yang benar “mukhlishina lahuddin al-hunafa’a” (QS. Bayyinah (98): 5). Karena dengan demikian ia akan sampai kepada apa yang dicita-citakan.
  1. Inisiatif
Inisiatif merupakan salah satu prinsip penting yang harus dimiliki oleh pemimpin/manajer. Pemimpin yang tidak memiliki inisiatif akan membuat organisasi menjadi mandek serta tidak berkembang apalagi ingin ada perubahan, harapan agar organisasi bertumbuh sesuai dengan perkembangan tidak akan tercapai, sekalipun lingkungan (stakeholder) menghendaki.
Prinsip ini bermula dari pemimpin/manajer tidak mempunyai gagasan terkait dengan tuntutan serta perkembangan situasi dalam mengantisipasi perubahan dan laju perkembangan lingkungan . Dalam Alquran Allah mengatakan: “Apabila kamu telah usai (melakukan suatu tugas), maka  kerjakanlah dengan sungguh-sungguh tugas/pekerjaan)berikutnya”. (QS. Al-Insyirah (94): 7).
Ayat ini mengisyaratkan prinsip inisiatif, bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya terjebak dalam satu tugas rutinitas saja yang menyita hampir semua waktu/masa tugasnya. Pemimpin/manajer yang efektif harus mampu memunculkan inisiatifnya dalam mendorong dan mengembangkan organisasi yang dipimpinnya sehingga dapat bersaing dan berkompetisi dengan organisasi sejenis dalam lingkungan kompetetifnya. Dengan memiliki kemampuan demikian, lembaga/organisasi yang dipimpinnya tidak akan tertinggal dalam merespons tuntutan perkembangan.
  1. Rela Berkorban
Manajer/pemimpin yang baik/efektif senantiasa harus mengedepankan sikaf rela berkorban. Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu memberi harapan bagi lingkungannya bahwa ia dan organisasinya akan tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya serta memenuhi hak-hak, baik itu hak-hak  bawahan/karyawan, hak mereka yang dilayani (pelanggan) maupun hak-hak sosial sebagai bentuk komitmen menyeluruh atas keberpihakannya terhadap lingkungan organisasi. Tipe kepemimpinan seperti ini oleh Andy Kirana disebut kepemimpinan etis.[32]
Pemimpin yang beretika selalu menampilkan i’tikad baik dan tidak serakah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Kualitas kepemimpinannya membuat bawahan atau pengikutnya senang dan menaruh harapan masa depan. Pemimpin dengan kepribadian seperti ini tidak akan tertipu dengan kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Bahkan ia akan rela mengorbankan apa yang dimilikinya sekalipun nyawa taruhannya.
Prinsip ini banyak menghiasi hidup keseharian Rasulullah saw. serta para sahabatnya. Mereka selalu rela mengorbankan apa yang ada pada diri mereka, sekalipun apa yang diberikan itu sesuatu yang sangat mereka senangi. Manajer/pemimpin demikian selalu memandang bahwa hidup ini adalah perjuangan dan pengabdian. Dalam Alquran Allah berfirman “wa jaahidu bi amwaalikum wa anfusikum fi sabilillah” (Berjuanglah dengan harta dan dirimu dijalan Allah)(QS At-Taubah (9) :41).
  1. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab merupakan prinsip yang melekat pada diri seorang manajer/pimpinan setelah ia memangku suatu jabatan. Pimpinan yang tidak bertanggung jawab berarti ia tidak menjalankan satu syarat penting sebagai manajer/pimpinan, yaitu melaksanakan proses pelimpahan wewenang dari atasan /pimpinan yang lebih tinggi. Pelimpahan wewenang (delegasi) terdiri dari tiga unsur yaitu; kewenangan (authority), tugas/tanggung jawab (responsibility), dan pertanggung jawaban (accountability).[33]
Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda ”setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya ( Riwayat Bukhari dan Muslim). Jadi seorang manajer/pemimpin harus menjalankan prinsip ini untuk memberikan pertanggung jawabannya, baik itu bertanggung jawab (memberi laporan) kepada atasannya maupun bertanggung jawab terhadap bawahan, masyarakat, pemerintah (stakeholder), lebih-lebih kepada Allah-tuhan pencipta alam semesta.
  1. Percaya Diri
Percaya diri merupakan prinsip yang harus dimiliki pemimpin setelah  memiliki inisiatif. Bila pemimpin tidak percaya diri maka inisiatifnya tidak bakal terlaksana. Ia tidak yakin akan kemampuan dirinya, sekalipun kapasitasnya sebagai pemimpin. Visi/ide-idenya akan tenggelam dalam bayang-bayang ketidakpercayaan dirinya.
Prinsip percaya diri sangat terkait dengan sejauh mana seorang pemimpin merasa pahit getirnya. Atau dengan kata lain seberapa besar pengalaman yang dimiliki dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan/manajerial dan kemasyarakatan. Dengan mengalami serta menjalankan tugas-tugasnya secara langsung, ia akan melakukan proses trial and error. Karena itu seorang manajer/pemimpin selain harus memiliki segudang pengalaman juga harus menimbulkan rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi dalam merealisasikan visi/misi (ide-ide) yang dimiliki.
Dalam Islam, percaya diri sangat berhubungan dengan kadar iman seseorang. Bila imannya kepada Allah tinggi, maka rasa percaya diri menjadi besar. Namun bila kadar imannya rendah, maka percaya dirinyapun menjadi rendah pula. Dalam Alquran dikatakan: “apabila kamu telah selesai melaksanakan suatu pekerjaan maka bertawakallah kepada Allah”(QS.al- Imran (3): 159).
Orang yang percaya diri imannya selalu menjadi penentu, ia percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan melaksanakan atau mengelola sesuatu urusan tidak tergantung dari seberapa baik ide yang dimiliki serta seberapa besar  kemampuan dan ketrampilan dalam membuat perencanaan kegiatan, melaksanakan, dan mengendalikannya. Tetapi keberhasilan dan kegagalan selain  karena memenuhi syarat-syarat diatas, juga harus memiliki optimisme bahwa ditangan tuhanlah semua urusan dikembalikan, berhasil atau gagal. Kepercayaan demikian itulah yang akan memunculkan penguatan-penguatan tertentu secara spiritual yang awalnya tidak disadari.
  1. Responsif
  2. Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu merasa bahwa semua orang pasti mempunyai kebutuhan. Kebutuhan yang diharapkan manusia itu ada yang sama dan ada pula yang tidak sama. Pemimpin/manajer yang baik pasti selalu berusaha untuk mengetahui kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan bawahan maupun kebutuhan orang yang dilayani (pelanggan) dan berusaha sedapat mungkin agar dapat merealisasikannya. Proses dimana seorang manajer/ pemimpin berusaha mengetahui dan merealisasikan kebutuhan bawahan maupun kebutuhan pelanggan   itulah biasanya disebut responsif (tanggapa).
Dalam Islam, perasaan tanggap ini muncul akibat seseorang selalu menganggap bahwa semua manusia sama dihadapan Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain secara prinsip baik dari segi ras, etnik, kelamin, ataupun bahasa, kecuali takwanya kepada Allah. (QS. Al-Hujurat (49): 13).
Bila orang yang tingkat taqarrub-nya kepada Allah sudah baik, maka ia akan memandang semua orang sama meskipun mereka berbeda dalam  prinsip maupun  idiologi. Apapun perbedaannya, ia selalu menyadari bahwa semua sarwa yang ada adalah ciptaan Allah termasuk manusia. Pandangan ini yang melahirkan hikmah ketidakberbedaan (undiversity wisdom) dan membuat seseorang bijaksana dalam setiap proses pengambilan keputusan.
  1. Empati
Empati sebenarnya merupakan gerbang (entry point) bagi lahirnya sikap responsif di atas. Empati merupakan sikaf serta kemampuan seseorang manajer/pemimpin memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Prinsip empati hanya dimiliki oleh para pemimpin yang tanggap terhadap lingkungannya. Pemimpin yang memiliki prinsip ini akan selalu dekat dengan masyarakat, baik itu bawahan maupun orang yang dilayani. Ia akan bahagia jikalau bawahan atau pelanggannya (orang yang dilayani) menjadi bahagia, dan ia akan resah bila mereka mengalami kesulitan.
Sikap seperti ini disinyalir dalam Alquran “ Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikaf keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al-Imran (3) : 159).
Empati adalah anugerah dari Allah berupa bisikan hati dan pikiran yang menyejukkan dikala berhadapan dengan setiap orang. Manajer/pemimpin yang empati selalu dekat dengan bawahan, merasakan setiap denyut nadi karyawannya, lapang dalam bertindak, dan keputusannya selalu populis dan tidak tergesa-gesa (bijaksana).
  1. Inovatif
Inovatif atau inovasi selalu beriringan dengan kreatifitas. Prinsip ini meniscayakankan bagi pemimpin membuat pembaruan-pembaruan atau penemuan-penemuan hal baru baik berupa produk, jasa, metode, kebijakan, tehnik dan seterusnya yang bisa ditawarkan kapada pengguna (User).
Untuk sampai pada taraf ini, seorang pemimpin harus cerdas terutama dari sisi intelektual. Karena seseorang yang secara intelek mampu, ia dapat menciptakan sesuatu yang baru atau mampu mendisain sesuatu yang lama (merekayasa) dengan kemasan dan tampilan baru.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk berperilaku sesuai dengan perilaku (akhlak) tuhan (takhallaqu bi akhlaqillah). Diantara perilaku (akhlak) tuhan itu seperti yang disebutkan dalam Alquran yakni Maha Mengetahui, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Maha Sejahtera dan seterusnya sampai pada Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr (59): 22-24). Menurut para ulama semuanya ada 99 nama yang biasa dikenal dengan sebutan “Asmaul Husna”.
Terkait dengan 3 ayat di atas Hasan Langgulung mengomentari, bahwa dalam Islam manusia menyembah dalam pengertian umum bermakna mengembangkan sifat-sifat dimaksud menurut perintah dan petunjuk tuhan. Dengan berbuat demikian, manusia menjadi suci, karena ia telah meniru sifat-sifat tuhan. Sifat-sifat itu diberikan kepada manusia dalam bentuk terbatas, sebab bila tidak manusia akan mengaku dirinya sebagai tuhan.[34]
Prinsip inovatif yang terkait dengan akhlak tuhan dalam ayat-ayat tuhan yakni al-khalik (pencipta). Pencipta dalam konteks ini bukan berarti sama persis seperti pencipta al-khalik, namun lebih merupakan daya kreasi manusia yang nisbi dalam meniru sifat-sifat tuhan yang mutlak itu.
10.  Toleran
Sikaf toleransi bagi seorang manajer/pemimpin dalam mengelola suatu organisasi juga tidak kalah penting bila dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain. Prinsip ini memungkinkan pemimpin melakukan tugas-tugas koordinasi secara baik dan berkesinambungan, terutama pada setiap level manajemen yang sama. Sikaf toleran dalam banyak hal dapat memuluskan jalan diantara dua pendapat yang berbeda. Sering pimpinan bagian/divisi/unit secara superior hanya mengandalkan bagian, divisi, atau unitnya yang terbaik, dan menganggap bagian, divisi, atau unit lain imperior dan tidak baik.
Didalam Alquran konstatasinya demikian “Hai orang-orang yang beriman Janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang memperolokolok” (QS. Al- Hujurat (49) : 11).
Bila sikaf atau prinsip ini tumbuh, maka dampaknya akan dapat memperburuk hubungan-hubungan kerja. Hubungan diantara sesama dalam organisasi dapat terbina dengan baik, manakala semua pihak bisa bersikaf toleran, saling mendukung, serta dapat mengabaikan kelemahan-kelemahan sesama. Organisasi bisa langgeng dan berkinerja secara maksimal, bilamana diantara sesama karyawan, karyawan dan pemimpin, maupun sebaliknya bisa saling menjaga, memelihara, dan bertenggang rasa. Bahkan lebih dari itu saling memberi pertolongan diantara sesama.
Toleransi merupakan suatu sikaf positif yang mestinya harus selalu dipelihara dan dikembangkan pada setiap organisasi. Karena hanya dengan sikaf-sikaf demikian organisasi selain akan stabil juga dapat merealisasikan program-programnya secara baik dan berkelanjutan.
11.  Sederhana
Prinsip kesederhanaan merupakan suatu unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menempatkan posisinya ditengah-tengah orang yang ia pimpin. Maksudnya seorang pemimpin tidak sewajarnya hanya dekat dengan orang-orang yang  berada pada level atas saja, tapi juga bisa mendengar dan melihat dari dekat problema-problema yang terjadi pada orang-orang yang ada pada level bawah. Dengan menempatkan diri secara tepat, berarti seorang pemimpin telah menunjukkan sikaf kesederhanaan.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk selalu bersikaf sederhana dalam setiap kali bertindak, karena hanya dengan kesederhanaan kita dapat menjadi penengah yang netral, yang tidak merugikan orang lain dikala mengambil suatu keputusan.
Dalam Alquran dikatakan: “Dan kami jadikan kamu umat yang menengah, agar menjadi saksi atas manusia” (QS. Al- Baqarah (2) : 143).
Pemimpin yang menengah dalam arti sederhana baik dalam tindak maupun peri lakunya, ia akan mobile dan lebih pleksibel dalam mengelola organisasi. Pemimpin yang sederhana bisa menerima pendapat dari kalangan atas sekaligus dapat mengakomodasi keinginan-keinginan orang-orang bawah. Sikaf inilah yang ditunggu-tunggu dari pemimpin zaman sekarang.
12.  Efektif dan Efisien
Dalam manajemen, efektifisien (efektif dan efisien) merupakan parameter bagi keberhasilan atau kegagalan dari suatu pekerjaan. Suatu kegiatan dikatakan produktif jika telah terjadi efisiensi pengelolaan masukan (input) dan efektif dalam setiap pencapaian sasaran. Efektifisien yang tinggi akan menghasilkan produktifitas yang tinggi.
Dalam suatu lembaga, faktor ini sangat erat kaitannya dengan proses pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dalam usaha mencapai tujuan dari lembaga/organisasi. Sumber daya dimaksud antara lain seperti; biaya, tenaga kerja, energi, material, waktu, dan teknologi. Bila semua sumber daya ini di-manage secara baik sesuai takaran kebutuhan dari masing-masing program/kegiatan, maka tidak akan terjadi pemborosan yang memungkinkan produknya menjadi mahal (high cost) sehingga  susah dijangkau oleh kalangan ekonomi lemah.
Dalam Alquran nilai/prinsip ini disinyalir sebagai berikut: “ Dan  janganlah kamu jadikan kedua tanganmu terbelenggu pada lehermu(kikir) dan jangan pula terlalu mengulurkannya(boros), karena itu kamu akan menjadi tercela dan menyesal”(QS. Al-Isra’(17): 29).
Kikir dalam arti kurang mendayagunakan ataupun tidak memanfaatkan sebagian sumber daya yang dimiliki organisasi, maka akan berakibat pada tidak tercapainya hasil yang diinginkan, karena itu tingkat efektifitas tidak tercapai. Begitu pula dengan pemborosan dalam menggunakan sumber daya pasti akan berdampak pada produksi berbiaya tinggi. Dengan demikian terjadilah inefisiensi dalam proses pengelolaan sumber daya organisasi.
13.  Keteladanan
Hampir disetiap organisasi terutama dinegara kita, pemimpin/manajer selalu dijadikan contoh (panutan).  Sikaf ini tidaklah berlebihan, sebab corak budaya kita bersifat pathernalistik selain itu pemimpin/manajer dianggap sebagai orang yang memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan mereka (bawahan). Karena itu dalam beberapa lembaga/organisasi, para pemimpin/manajer biasanya melakukan beberapa peranan strategis sehingga mereka selalu diapresiasi secara baik. Peranan-peranan dimaksud antara lain seperti; bertindak sebagai tokoh (figurhead), pemimpin (leader), penghubung (liason), juru bicara ( the spokes person), pihak yang menyelesaikan gangguan (turbulance handler), perunding (negotiator),[35] dan lain-lain. Peranan-peranan itu menghendaki para bawahan senantiasa menghormati dan menghargai setiap langkah dan kebijakan yang diambil setiap pemimpin, dengan tetap mengedepankan azas-azas kebersamaan, kejujuran, dan keadilan, serta tidak bersikaf like and dis like teristimewa dalam menilai dan mendistribusikan tugas dan tanggung jawab.
Di dalam Islam, Nabi Muhammad  saw.  sebagai rasul dan pemimpin umat oleh Alquran  dipandang sebagai pribadi yang patut dicontoh. Sebab beliau dianggap telah sukses dalam menjalankan tugas-tugasnya secara baik dengan mengedepankan sikaf-sikaf  terpuji yang semestinya ditiru. Dalam Alquran dikatakan: “ Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu”(QS. Al-Ahzab (33): 21).
14.  Terbuka
Keterbukaan (transparan) sesungguhnya merupakan suatu sikap yang dalam manajemen modern sangat dianjurkan keberadaannya dalam suatu lembaga/organisasi. Masyarakat dewasa ini terutama mereka yang pendidikannya relatif baik, terkadang hanya percaya pada organisasi yang terbuka melaporkan seluruh kegiatannya secara berkala kepada masyarakat (stakeholder) sebagai mitra kerjanya. Organisasi akan berkinerja dan berkembang dengan baik manakala para stakeholder merespons semua kegiatan organisasi secara baik pula. Karena itu agar suatu organisasi eksis dimasyarakat  dan bisa berkompetisi secara sehat, maka seluruh pihak yang terlibat didalamnya khususnya pada level pimpinan (manajemen) harus dapat bersikap transparan dalam mengelola organisasi, sehingga kredibilitas lembaga tetap terjaga.
Di dalam Islam, sikaf transparan atau membuka (membeberkan dan memberitahukan) apa yang diketahui tentang organisasi yang dipimpinnya kepada masyarakat merupakan suatu sikap yang terpuji. Dalam Alquran disebutkan:”Terhadap nikmat  tuhanmu, maka hendaknya kamu sebut-sebutkan (informasikan)” (QS. Adh-Dhuhaa (93): 11).
Selain itu, rasul sebagai pemimpin umat disuruh untuk menyampaikan apa yang telah diperoleh agar diberikan kepada orang lain (masyarakat). “ Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu” (QS. al-Maidah (5): 67) menginformasikan secara transparan merupakan sikap  pertanggung jawaban rasul sebagai pemimpin. Kata Tabligh dalam ayat  diatas yang berarti menyampaikan atau menginformasikan adalah satu dari 4 (empat) sifat bagi seorang rasul (pemimpin), yakni siddiq (benar), amanah (dipercaya), fathanah (mampu), dan tabligh (menyampaikan). Bila seorang pemimpin/manajer mampu mengaplikasikan keempat sifat rasul ini, maka sesungguhnya ia telah mengadopsi prinsip-prinsip manajemen modern.
Read More --►

PENGORGANISASIAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS


PENGORGANISASIAN
DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADITS
 
 
 
Terdapat dua kata bantu yang terdapat dalam al-Qur’an untuk mempelajari pengorganisasian ini. Kata tersebut adalah Shaff dan ummat. Penulis akan membahas dua kata tersebut satu per satu.
Penulis mengidentikkan kata shaff ini dengan organisasi. Jadi organisasi menurut analisis kata ini adalah suatu perkumpulan atau jamaah yang mempunyai sistem yang teratur dan tertib untuk mencapai tujuan bersama. Dalam surah al-Shaff ayat 4 dikemukakan:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ (4)
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Maksud dari shaff disitu menurut al-Qurtubi adalah menyuruh masuk dalam sebuah barisan (organisasi) supaya terdapat keteraturan untuk mencapai tujuan.[16] Dalam sebuah hadits diterangkan:
إن الله عز وجل يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه[17]
Artinya: Sesungguhnya Allah mencintai orang yang jika melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan "tepat, terarah dan tuntas".
Suatu pekerjaan apabila dilakukan dengan teratur dan terarah, maka hasilnya juga akan baik. Maka dalam suatu organisasi yang baik, proses juga dilakukan secara terarah dan teratur atau itqan.
Menurut al-Baghawi maksud dari ayat di atas adalah manusia seyogyanya tetap pada tempatnya dan tidak bergoyah dari tempat tersebut.[18] Di samping itu, dalam ayat tersebut banyak mufassir yang menerangkan bahwa ayat tersebut adalah barisan dalam perang.[19] Maka ayat tersebut mengindikasikan adanya tujuan dari barisan perang yaitu berupaya untuk melaksanakan kewajiban yaitu jihad di jalan allah dan memperoleh kemenangan. Dalam penafsiran versi lain, dikemukakan bahwa ayat tersebut menunjukkan barisan dalam shalat yang memiliki keteraturan.[20] Dari sini dapat dikemukakan bahwa ciri organisasi adalah mempunyai pemimpin dan terjadi itba’ terhadap kepemimpinan tersebut. Di samping itu, kata bunyanun marshusun mengindikasikan bahwa dalam sebuah organisasi hendaknya terdapat pembagian wewenang dan tugas, sebagaimana yang terjadi dalam sebuah bangunan atau rumah, ada yang bertugas menjadi tangga, ada yang bertugas menjadi tiang, serta ada yang bertugas menjadi atap dan sebagainya. Dalam sebuah hadits diterangkan:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ...[21]
Sesungguhnya Allah mewajibkan (kepada kita) untuk berbuat yang optimal dalam segala sesuatu….
Dalam menerima delegasi wewenang dan tanggung jawab hendaknya dilakukan dengan optimal dan sungguh-sungguh. Janganlah anggota suatu organisasi melakukan tugas dan wewenangnya dengan asal-asalan. Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa apabila seseorang hanya mementingkan kepentingan sepihak dan melakukan tugas serta tanggung jawabnya dengan asal-asalan. Hadits yang menerangkan tentang kekalahan umat Islam dalam perang Uhud menunjukkan bahwa apabila seseorang tidak melaksanakan anggotanya sebagai bagian dari organisasi perang, maka akibatnya adalah organisasi tersebut mengalami kekalahan.[22] Jadi dalam sebuah organisasi harus terjadi koordinasi yang baik dan tidak boleh terjadi penyalahgunaan wewenang.
Dalam ayat lain diterangkan:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ ا؄صَّابِرِينَ (46)
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Anfal: 46)
Ayat tersebut menerangkan bahwa dalam sebuah organisasi tidak boleh terdapat percekcokan yang membawa kepada permusuhan yang pada akhirnya mengakibatkan hancurnya kesatuan.[23] Dalam tafsirnya al-Maraghi menerangkan pertentangan yang menyebabkan rusaknya koordinasi dan organisasi akan membawa kepada kelemahan dan kegagalan.[24]
Berorganisasi sangat penting dan merupakan hal yang pokok untuk menjalankan sebuah manajemen. Al-Qur’an menjelaskan:
أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
”….Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…”(Q.S.Al-Syuura: 13)
Ayat di atas menjelaskan bahwa anggota organisasi dilarang keluar dari organisasi dan dilarang memecah belah organisasi.
Perkataan (qawl) dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib:
اَلْحَقُّ بِلاَ نِظَامٍ يَغْلِبُهُ اْلبَاطِلُ بِالنِّظَامِ
“Kebenaran yang tidak diorganisir dapat dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisir.”
Qawl ini mengingatkan kita tentang pentingnya berorganisasi dan sebaliknya bahayanya suatu kebenaran yang tidak diorganisir melalui langkah-langkah yang kongkrit dan strategi-strategi yang mantap. Maka tidak ada garansi bagi perkumpulan apa pun yang menggunakan identitas Islam meski memenangkan pertandingan, persaingan maupun perlawanan jika tidak dilakukan pengorganisasian yang kuat.
Di sini terdapat perbedaan yang mencolok antara organisasi umum dengan organisasi pendidikan Islam yang elemen-elemennya diambil dari al-Qur’an dan al-Hadits. Kata sabilihi dalam ayat surat al-Shaff di atas menunjukkan perbedaan bahwa orang yang menjadi anggota organisasi pendidikan Islam ada niat untuk berjuang karena Allah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
Berpijak dari keterangan dua mufassir di atas, maka dapat ditarik dalam teori manajemen bahwa organisasi mempunyai anggota yang terdiri dari kumpulan orang-orang, berada dalam suatu wadah, terdapat keteraturan, mempunyai tujuan, juga mempunyai pemimpin, terjadi pendelegasian wewenang dan tanggung jawab serta ada niat melaksanakan tugas dengan ikhlas dan berjuang di jalan Allah.
Hal tersebut nampaknya mempunyai kesamaan dan perbedaan dengan ciri serta elemen bahkan manfaat dan tujuan organisasi yang  dikemukakan para ahli. Organisasi yang baik, menurut Purwanto, hendaklah memiliki ciri-ciri atau sifat sebagai berikut:
1.      Memiliki tujuan yang jelas
2.      Tiap anggota dapat memahami dan menerima tujuan tersebut
3.      Adanya kesatuan arah sehingga dapat menimbulkan kesatuan tindakan dan kesatuan pikiran.
4.      Adanya kesatuan perintah
5.      Adanya keseimbangan antara wewenang dan tanggung jawab masing-masing anggota.
6.      Adanya pembagian tugas atau pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan, keahlian dan bakat masing-masing, sehingga dapat menimbulkan kerjasama yang harmonis dan kooperatif.
7.      Pola organisasi hendaknya relatif permanen, dan struktur organisasi disusun sesederhana mungkin, sesuai dengan kebutuhan, koordinasi, pengawasan dan pengendalian.
8.      Adanya jaminan keamanan dalam bekerja.
9.      Adanya gaji atau insentif yang setimpal dengan jasa/pekerjaan sehingga dapat menimbulkan gairah kerja.
10.  Garis-garis kekuasaan dan tanggung jawab serta hierarkhi tata kerjanya jelas tergambar dalam struktur organisasi.[25]
Sebenarnya dari definisi organisasi dapat dijabarkan menjadi fungsi organisasi. Purwanto menjabarkan fungsi organisasi sebagai berikut:
1.      Organisasi dapat diartikan sebagai memberi struktur, terutama dalam penyusunan/penempatan personel, pekerjaan-pekerjaan, material, dan pikiran-pikiran di dalam struktur itu.
2.      Organisasi dapat pula ditafsirkan sebagai menetapkan hubungan antara orang-orang.
3.      Organisasi dapat juga diartikan semata-semata mengingat maksudnya, yakni sebagai alat untuk mempersatukan usaha-usaha untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan.[26]
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa organisasi dan pengorganisasian merupakan salah satu fungsi dari manajemen. Dari sisi wadah, organisasi memayungi manajemen yang berarti organisasi lebih luas daripada manajemen, tetapi dari sisi fungsi, organisasi (organizing) sebagai bagian dari fungsi manajemen, yang berarti organisasi lebih sempit daripada manajemen.
Sedangkan tujuan dan manfaat organisasi menurut Usman, adalah: 1) mengatasi terbatasnya kemampuan, kemauan, dan sumber daya yang dimilikinya dalam mencapai tujuannya; 2) mencapai tujuan secara lebih efektif dan efisien karena dikerjakan bersama-sama; 3) wadah memanfaatkan sumber daya dan teknologi bersama-sama; 4) wadah mengembangkan potensi dan spesialisasi yang dimiliki seseorang; 5) wadah mendapatkan jabatan dan pembagian kerja; 6) wadah mengelola lingkungan bersama-sama; 7) wadah mencari keuntungan bersama-sama; 8) wadah menggunakan kekuasaan dan pengawasan; 9) wadah mendapatkan penghargaan; 10) wadah memenuhi kebutuhan manusia yang semakin banyak dan kompleks; 11) wadah menambah pergaulan; 12) wadah memanfaatkan waktu luang.[27]
Winardi mengutip Reece yang mengemukakan bahwa elemen organisasi antara lain: manusia, tujuan tertentu, pembagian tugas, sebuah sistem untuk mengoordinasi tugas, sebuah batas yang dipatok.[28] Sedangkan menurut Schein, sebagaimana dikutip Winardi, organisasi mempunyai empat macam ciri atau karakteristik sebagai berikut: koordinasi upaya, tujuan umum bersama, pembagian kerja, hierarki otoritas.[29]
Berpijak dari kesimpulan di atas, penulis dapat menggambarkan skema organisasi menurut al-Qur’an dan hadits yang diambil dari telaah kata shaff.




Kata kunci untuk memahami organisasi selanjutnya adalah kata ummat. Ummat diartikan sebagai sekelompok orang yang berada di suatu wilayah tertentu. Dalam term tertentu ummat juga diartikan sebagai golongan atau organisasi. Kata ummat disebut dalam al-Qur’an beberapa kali lebih dari 10 kali. Terdapat beberapa sifat yang melekat dalam kata ummat, antara lain: ummat muqtashidah, ummat qaimah, khaira ummah, ummat wahidah, ummat wasathan, ummat qanitan, ummat muslimah.
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ (66)
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.(Q.S.al-Maidah: 66)
Term ummat muqtashidah memberi pemahaman sebagaimana yang diterangkan al-Thabari sebagai berikut:
قال أبو جعفر: يعني تعالى ذكره بقوله:"منهم أمة"، منهم جماعة (1) ="مقتصدة"، يقول: مقتصدة في القول في عيسى ابن مريم، قائلةٌ فيه الحقَّ أنه رسول الله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه، لا غاليةٌ قائلةٌ: إنه ابن الله، تعالى الله عما قالوا من ذلك، ولا مقصرة قائلةٌ: هو لغير رِشْدَة="وكثير منهم"، يعني: من بني إسرائيل من أهل الكتابِ اليهودِ والنصارى ="ساء ما يعملون"، يقول: كثير منهم سيئ عملهم، (2) وذلك أنهم يكفرون بالله، فتكذب النصارى بمحمد صلى الله عليه وسلم، وتزعُم أن المسيحَ ابن الله= وتكذِّب اليهود بعيسى وبمحمد صلى الله عليهما. فقال الله تعالى فيهم ذامًّا لهم:"ساء ما يعملون"، في ذلك من فعلهم.[30]
Hendaklah suatu organisasi itu berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Penyimpangan dari perencanaan tersebut akan menyebabkan organisasi menjadi berbelok dan sulit untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. AD/ART suatu organisasi harus dijalankan secara konsekuen agar suatu organisasi mampu dinamakan organisasi yang efektif. Maka AD/ART juga merupakan elemen organisasi.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S.ali Imran: 110)<.span>
Khaira ummah di sini merupakan tafsir dari umat Islam akan menjadi umat yang terbaik apabila mengerjakan pilar-pilar agama Islam. Namun apabila ditarik dalam masalah organisasi yaitu mengandung pemahaman organisasi yang bermutu yang melaksanakan pilar-pilar mutu.
Organisasi dinyatakan efektif apabila tujuan anggota organisasi dan tujuan organisasi tercapai sesuai atau di atas target yang telah ditetapkan. Artinya baik pihak pelanggan internal maupun pelanggan eksternal organisasi merasa puas.
Usman menjelaskan beberapa indikator organisasi pendidikan bermutu dan efektif. Indikator tersebut antara lain sebagai berikut: 1) berfokus pada pelanggan, 2) berfokus pada upaya pencegahan masalah, 3) investasi kepada manusia dan menganggap manusia sebagai aset organisasi, 4) memiliki strategi untuk mencapai mutu, 5) memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk memperbaiki diri (responsif), 6) memiliki kebijakan dalam perencanaan mutu, 7) mengupayakan proses perbaikan terus-menerus dengan melibatkan semua pihak terkait (partisipatif), 8) membentuk fasilitator yang bermutu (mau dan mampu memimpin proses perbaikan), 9) mendorong orang untuk berinovasi dan berkreasi, 10) memperjelas peranan dan tanggung jawab setiap orang, 11) memiliki strategi evaluasi yang objektif dan jelas, 12) memiliki rencana jangka panjang, 13) memiliki visi dan misi, 14) memandang mutu sebagai bagian dari kebudayaan, 15) meningkatkan mutu sebagai kewajiban, 16) terbuka dan bertanggung jawab.[31]
Apabila indikator-indikator tersebut dimiliki oleh sebuah organisasi pendidikan Islam, maka organisasi tersebut dapat dikatakan sebuah organisasi yang efektif.
وَتَرَى كُلَّ أُمَّةٍ جَاثِيَةً كُلُّ أُمَّةٍ تُدْعَى إِلَى كِتَابِهَا الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (28)
Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.(Q.S.al-Jatsiyah: 28)
Term jatsiyah mengandung arti berlutut dengan lutut untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukan.[32] Maka dari itu, organisasi harus mampu mempertanggungjawabkan apapun yang telah diperbuatnya, walaupun salah satu anggota yang melakukan perbuatan tersebut, sehingga harus ada kesatuan arah dan kesatuan komando juga komitmen dari para anggota.
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ (128)
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(Q.S.al-Qur’an:128)
Ayat tersebut walaupun konteksnya adalah doa yang menunjukkan ketaatan kepada sang khaliq, memberi isyarat bahwa dalam organisasi anggota harus taat kepada pemimpin, dan senantiasa meminta petunjuk kepada pemimpin tentang apa yang akan dilakukannya serta meminta maaf kepada pemimpin apabila ia melakukan kesalahan. Dalam ayat lain disebutkan bahwa taat kepada pemimpin juga merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.[33]
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (213)
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.(Q.S.al-Baqarah: 213)
Ayat tersebut menerangkan bahwa sebuah organisasi hendaknya bersatu dengan menghindari konflik yang menyebabkan perpecahan antara satu dengan yang lain. Maka dari itu, dalam sebuah organisasi hendaknya selalu menjunjung persatuan dan kesatuan organisasi.
Ayat tersebut juga menerangkan tentang pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi dan juga berorientasi pada penyelesaian masalah. Hendaknya semua perkara yang diselisihkan dalam sebuah organisasi itu diselesaikan dengan dikembalikan kepada metode pengambilan keputusan yang diajarkan oleh Allah, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits, yaitu metode musyawarah.[34] Jadi musyawarah merupakan cara yang tepat untuk mengatasi konflik yang mampu menyebabkan perpecahan dalam tubuh organisasi, dengan mengambil keputusan yang bijak.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (143)
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.(Q.S.al-Baqarah: 143)
Term wasathan menurut pendapat ahli tafsir adalah pilihan.[35] Jadi apabila kita tarik dalam hal manajemen, hendaklah sebuah organisasi itu dibuat menjadi organisasi yang pilihan yang unggul serta yang efektif. Dalam ayat tersebut juga dikemukakan bahwa tujuan digunakan sebagai arah gerak organisasi dan untuk mengetahui kinerja kesetiaan anggota organisasi.
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِلَّهِ حَنِيفًا وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (120) شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (121)
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan. (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus (Tuhan.(Q,S.al-Nahl: 120-121)
Kata ummat qanitan menurut Ibn Mas’ud, sebagaimana yang dikutip oleh al-Thabari, umat yang mengajari kebaikan kepada manusia.[36] Qanit dalam arti yang lain diidentikkan dengan muthi’.[37] Maka, dalam sebuah organisasi harus ada ketaatan dari para anggota organisasi kepada seorang pemimpin organisasi. Di samping itu, seorang pemimpin organisasi harus mampu menjadi seorang teladan bagi para anggotanya.  Organisasi yang sukses harus mampu mengaplikasikan nikmat yang diberikan kepadanya dengan mensyukurinya, sedangkan implementasi dari syukur tersebut adalah menggunakan nikmat dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut terwujud dengan menjalankan tugas sebaik-baiknya
Read More --►