Implementasi Nilai-nilai Islam dalam Kepemimpinan Efektif
Pemimpin dan Kepemimpinan
a. Pengertian dan Ciri Pemimpin
Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua kosa kata yang memiliki pengertian yang berbeda. Pemimpin menurut Schneider, et.al.didepinisikan sebagai berikut : A leader is depined as the individual formally given certain status throught election, appoinment, inheritance, revolution, or any number of other means.[1] (Seseorang yang secara formal diberi status tertentu melalui pemilihan, pengangkatan, keturunan, revolusi, atau cara-cara lain). Sedangkan kepemimpinan adalah : Leadership refers to those behavior performed by one or more individuals in the group which helps the group accomplish its goals.[2] (Kepemimpinan mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan sesorang atau lebih dari individu dalam suatu kelompok yang membantu kelompok mencapai tujuan).
Dari pengertian di atas jelas, bahwa pemimpin (leader) merupakan status yang disandang seseorang karena menjadi kepala, ketua, direktur, atau manajer pada suatu organisasi atau lembaga, sedangkan kepemimpinan (leadership) lebih merupakan tindakan dan perilaku yang ditampilkan ketika berinteraksi dengan orang lain, baik antara sesama pemimpin maupun dengan bawahan.
Sebenarnya terdapat banyak pengertian mengenai kepemimpinan ini menurut para ahli,[3] namun semuanya mengarah kepada suatu tugas utama pemimpin yaitu bagaimana agar ia dapat menguasai dan mempengaruhi orang lain secara efektif. Hal ini dapat ditunjukkan pada sikap dan kemampuan pemimpin serta sifat dari organisasi yang dipimpinnya. Sebab seseorang yang memimpin organisasi militer pasti ia akan memerlukan kemampuan dan kecakapan yang berbeda bila diperhadapkan dengan sekelompok peneliti misalnya.
Perbedaan sifat organisasi yang dipimpin dan kecakapan serta kemampuan seorang pemimpin disertai perbedaan lingkungan itulah yang merupakan sudut perbedaan para pakar melihat kepemimpinan itu.
Begitu pula dalam melihat ciri atau sifat dari seorang pemimpin yang baik atau efektif. Para pakar mencoba mengidentifikasi faktor-faktor tertentu untuk digunakan dalam meramalkan kepemimpinan yang efektif. Misalnya pemimpin itu adalah orang yang perawakan tinggi, namun asumsi ini terbantahkan dengan kehadiran pemimpin yang berperawakan pendek seperti Napoleon, prof. Habibi, dan Aroyo yang pendek. Demikian juga pemimpin itu katanya harus gemuk besar, asumsi inipun terbantahkan dengan kehadiran Abraham lincoln, George W. Bush, serta Gho Chok Tong yang kurus langsing. Kenyataan-kenyataan itu menunjukkan ketidakkonsistenan dari ciri atau sifat kepemimpinan yang diidentifikasi. Karena itu dalam memilih dan mengangkat seorang pemimpin, maka langkah penting yang harus dilakukan adalah bersikap hati-hati dan bijaksana dan jangan bertindak apriori. Sebab itu ada slogan bahwa “pemimpin itu dilahirkan” tidak selamanya betul, karena sekarang telah ada pameo “pemimpin itu diciptakan”. Siapapun orangnya bila diciptakan (dibentuk, digembleng, dan dibina ) pasti dapat menjadi pemimpin dan mungkin lebih efektif dan produktif..
Walaupun hasil riset tidak mengungkapkan satu-satunya sifat yang dimiliki oleh pemimpin yang berhasil (efektif), namun sejumlah ciri dapat dikemukakan sebagai ciri umum yang dimiliki oleh kebanyakan diantara mereka. Ciri-ciri tersebut adalah: kelancaran berbicara, kemampuan untuk memecahkan masalah, kesadaran akan kebutuhan, keluwesan, kecerdasan, kesediaan untuk menerima tanggung jawab, ketrampilan sosial, serta kesadaran akan diri dan lingkungan. [4]
Begitu pula seperti yang ditetapkan oleh sekelompok ilmuan sosial dan pendidikan yang bertemu di Sacramento di akhir tahun 1979 yang berusaha merumuskan suatu profil definitif mengenai sifat kepemimpinan. Dari pertemuan itu, mereka berhasil mengidentifikasi beberapa ciri potensi kepemimpinan yang tinggi, yaitu:
- Dihormati oleh teman sejawat, gagasannya dicari orang
- Berani ambil risiko, mandiri
- Giat, penuh semangat dan tekun
- Tahu apa yang terjadi; menyadari nuansa dalam lingkungan dan orang lain
- Mempengaruhi, dapat mendominasi, menyukai kekuasaan
- Percaya diri
- Bertanggung jawab
- Mempunyai banyak gagasan dan pandangan ke dalam
- Tegas
11. Sangat tersusun dan terorganisasi
12. Bersikap luwes.[5]
Selain itu ada sebahagian ahli yang mengedepankan beberapa ciri yang dimiliki oleh pemimpin yang baik dan dijadikan point ketika menilai orang-orang yang dipersiapkan sebagai calon pemimpin dalam diklat-diklat kader. Mereka yang direkrut paling sedikit memiliki tiga ciri, yaitu: Persepsi sosial; yakni kecakapan dalam melihat dan memahami perasaan, sikaf dan tingkah laku orang lain. Kemampuan berfikir abstrak; yakni kemampuan untuk membaca penomena yang bakal terjadi. Dengan kata lain memiliki kemampuan untuk melihat apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.Dan Keseimbangan emosional; yaitu mereka yang mempunyai pandangan positif (husnuzzhon) terhadap orang lain atau yang memiliki perasaan seimbang dalam melihat sesuatu.[6]
Karena itu seseorang yang mempunyai reputasi pemimpin, idealnya selain harus memiliki perilaku dan wibawa leadership, ia juga dipastikan telah memiliki sifat atau ciri-ciri minimal yang dapat dijadikan indikator sukses memimpin. Sebab dengan begitu proses rekruitmen calon menjadi lebih mengarah ke bagaimana menemukan pemimpin yang unggul dari dimensi kapabilitas, kredibilitas, dan akseptabilitas.
b. Kepemimpinan dan Manajemen
Banyak literatur yang mencoba mengungkapkan apa persisnya manajemen itu. Seperti yang sering dikemukakan, bahwa manajemen adalah proses pencapaian tujuan organisasi melalui kegiatan orang lain, atau manajemen adalah suatu proses untuk melaksanakan tujuan tertentu, dimana tujuan itu diselenggarakan dan diawasi.[7] Bila ditelusuri lebih jauh dalam literatur lain, maka istilah manajemen dapat didepinisikan dari tiga perspektif. Pertama; menurut perspektif proses; dari sudut ini manajemen dapat diartikan sebagaimana disebutkan di atas. Yakni manajemen adalah proses pencapaian tujuan melalui kegiatan orang lain, dimana kegiatan itu diawasi dan diselenggarakan.[8] Begitu pula definisi yang dikemukakan oleh Robert L. Trewathn dan M. Gene Newport yang dikutip oleh Prof. Winardi, bahwa manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, serta mengawasi aktivitas-aktivitas sesuatu organisasi dalam upaya mencapai suatu koordinasi sumber-sumber daya manusia dan sumber-sumber daya alam dalam hal pencapaian sasaran secara efektif dan efisien.[9]
Kedua; definisi dari perspektif kolektivitas orang, dari sudut ini manajemen dapat diartikan sebagai kolektivitas orang yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan manajerial. Ini adalah makna plural dari kata manajemen, sementara makna singular-nya adalah manajer, yaitu seseorang yang diserahi tugas dan tanggung jawab mengelola suatu bidang atau unit tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dan ketiga; pengertian manajemen menurut perspektif sebagai seni dan ilmu.[10] Sebagai seni, manajemen terimplementasi dalam bentuk kiat-kiat tertentu atau ketrampilan-ketrampilan pengelolaan berdasarkan pengalaman orang per orang dalam bidang-bidang yang digeluti yang telah menghasilkan manfaat-manfaat yang diterima. Dan manajemen sebagai ilmu, yakni terlihat pada penerapannya dengan proses mengobservasi, mengumpulkan , dan menganalisis data, penomena-penomena, kejadian-kejadian dan lain-lain kemudian diambil beberapa kesimpulan yang mendukung tujuan yang hendak dicapai. Demikianlah beberapa persfektif makna yang terkandung dalam istilah manajemen yang dikemukakan para pakar.
Dari pengertian-pengertian sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa manajemen itu sesungguhnya merupakan suatu seni dan ilmu serta posisi dalam mengelola sejumlah sumberdaya yang terdapat pada suatu organisasi/lembaga secara efektifisien untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sementara kepemimpinan sebagaimana disebutkan di atas merupakan suatu sikap atau perilaku mempengaruhi orang-orang dalam rangka mencapai suatu tujuan. Pengertian ini memiliki implikasi, bahwa kepemimpinan dapat terimplementasi dan ditemui dimana saja, baik pada suatu lembaga formal maupun non formal bahkan dalam perilaku hidup keseharian dalam masyarakat. Ia tidak hanya terdapat pada lembaga-lembaga birokrasi yang memiliki setumpuk peraturan yang kaku, seperti yang dipraktekkan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Juga tidak hanya terdapat di lembaga-lembaga swasta yang memberikan peluang bagi karyawan untuk melakukan inovasi dan kebebasan berinisiatif yang konstruktif seperti di perusahaan-perusahaan, tetapi juga dapat ditemui secara bebas dalam pergaulan hidup antar sesama. Setiap upaya sesorang untuk mempengaruhi orang lain agar orang itu melakukan apa yang ia kehendaki, maka sikap seperti ini menurut Miftah Thoha sudah disebut kepemimpinan(leadership).[11]
Taufik Bahauddin mengutip pendapat pakar manajemen Peter F. Drucker mengatakan bahwa untuk mendefinisikan kata manajemen dan kepemimpinan atau manajer dan pemimpin hanya dengan cara membolak-balikan kata. Dimana kata “pemimpin” didefenisikan dengan kata-kata doing the right things (melakukan pekerjaan yang benar), sedangkan “Manajer” doing things right (melakukan sesuatu/pekerjaan dengan benar).[12] Maksudnya, seorang manajer tugasnya adalah melakukan segala sesuatu yang ada secara benar sesuai dengan aturan, prosedur, atau police yang telah ada. Sementara pemimpin bertugas mengadakan atau menghadirkan sesuatu yang benar yang belum ada dan relevan dengan ekspektasi organisasi. Jadi manajer melakukan apa yang telah diputuskan pemimpin, dan pemimpin mengadakan apa yang belum ada dalam organisasi.
Meskipun demikian, bukan berarti seorang manajer tidak terkategori sebagai pemimpin. Pemimpin boleh bukan seorang manajer , tapi seorang manajer ia harus bisa menjadi pemimpin. Manajerlah yang mengelola segala sesuatu yang ada dalam organisasi, baik berupa sumberdaya material maupun manusianya. Karena itu terkait dengan sumberdaya manusia, seorang manajer harus mampu mempengaruhi dan memotivasi bawahan sehingga mereka dapat bekerja secara baik. Atau dengan kata lain manajer harus mempunyai kemampuan menjalin hubungan relasional dan membangun hubungan interpersonal secara efektif. Kemampuan-kemampuan seperti ini membutuhkan sikap sebagai seorang pemimpin, di mana ia harus mampu secara kreatif dan empatik memahami mind dan sens bawahan, karena pemimpin merupakan tumpuan harapan mereka. Teristimewa bagi orang, suku, atau bangsa yang berbudaya paternalistik.
Dari gambaran tersebut dapatlah dikatakan, bahwa tidak semua orang bisa memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang sama kuatnya. Dikatakan demikian, karena menurut Ned Hermann yang lansir oleh Taufik Bahauddin dalam bukunya Brain ware Management, bahwa dalam diri seseorang telah terjadi struktur kecenderungan dominasi otak dikala melakukan suatu pekerjaan . Apakah otak kiri atasnya yang dominan, bawahnya atau otak kanan atas atau bawahnya, tergantung siapa orangnya.[13] Namun menurut sumber The Whole Brain Bussiness Book, 1999 yang diadaptasi oleh Taufik bahauddin disebutkan bahwa manajer dan pimpinan berbeda pada metrik potensi otak. Seorang manajer memiliki kecenderungan dominasi otak kiri atas, yang terkategori sebagai Analyzer (orang yang mempunyai kemampuan analisis) serta memiliki kecenderungan dominasi otak kiri bawah sebagai Organizer (orang yang mempunyai kemampuan mengorganisasi). Sedangkan Pemimpin menurutnya, memiliki 3 (tiga) kecenderungan dominasi otak. Selain otak kiri atas sebagai Analyzer, juga memiliki kecenderungan otak kanan atas dan bawah sebagai Personalizer dan Visualizer/Strategyzer. Yakni orang yang memiliki kemampuan menjalin dan membangun hubungan relasional dengan orang lain serta mampu membangun visi kedepan dengan agenda-agenda strategis.[14]
Pemimpin atau manajer yang efektif harus bisa menempatkan diri sesuai tanggung jawab yang diemban, seraya dapat mengasah dan mempertajam kemampuan-kemampuan yang semestinya menjadi basis kecenderungannya, apakah ia mengasah kemampuan analyzer dan organizer, ataukah analyzer, personalizer serta visualizer/strategyzer.
c. Kekuasaan dan Kepemimpinan
Istilah kekuasaan dan kepemimpinan terkadang secara salah dipahami maknanya, karena keduanya berhubungan dengan perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang pemimpin, penguasa, manajer, kepala, atau seorang ketua. Istilah kekuasaan (power) dirumuskan oleh Bierstedt sebagai suatu kemampuan untuk mempergunakan kekuatan.[15] Sementara Rogers mengatakan kekuasaan sebagai suatu potensi dari suatu pengaruh.[16] Dalam kamus “Modern Dictionary of Sociology” yang dikutip oleh Salusu disebutkan bahwa Kekuasaan (power) adalah kemamampuan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan keinginan atau kebijaksanaannya, dengan mengendalikan, memanipulasi atau mempengaruhi perilaku orang lain, apakah mereka ingin bekerja sama atau tidak.[17] Atau dapat dikatakan kekuasaan adalah kewenangan yang dimiliki sesorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam suatu organisasi atau pada suatu daerah teritori.
Bila dalam memimpin, seseorang tidak dapat mempengaruhi pikiran atau sikap para bawahan terkait dengan tugas-tugasnya, maka pemimpin tersebut tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaanlah yang membuat seorang pemimpin secara formal dapat ditaati dan diikuti. Namun kekuasaan dalam bentuk ini biasanya telah diatur dengan sejumlah aturan. Aturan ini yang nanti menjadi tali pengikat sekaligus sebagai pedoman bagi pimpinan dan bawahan dalam menjalankan tugas-tugas keseharian.
Berbeda dengan pemimpin yang mengendalikan suatu kekuasaan secara informal, disini pimpinan diikuti dan di taati sepanjang ia masih memiliki kredibilitas, integritas moral, dan empati dalam bergaul dengan orang lain. Jadi kekuasaan dalam konteks ini bukan diikat oleh aturan sebagaimana dalam kekuasaan formal, namun lebih dalam bentuk sikaf dan profil yang ditampilkan. Sehingga bila sikapnya tidak mencerminkan seorang yang berwibawa, pengayom, bertanggung jawab, dan suka memperjuangkan nasib orang lain, maka pemimpin seperti ini biasanya akan ditinggalkan atau tidak memiliki basis masa yang jelas, baik dalam suatu organisasi apalagi dalam masyarakat. Sehingga dalam konteks ini menurut Prof. Imam Suprayogo bahwa kepemimpinan formal memiliki daya cakup (kekuasaan) agak terbatas karena dibatasi oleh aturan. Sementara kepemimpinan informal mempunyai ruang lingkup (kekuasaan) tanpa batas-batas resmi.[18]
Agar pola kepemimpinan dapat berjalan secara efektif, maka seyogyanya ada unsur-unsur kepemimpinan yang terimplementasi didalamnya. Unsur-unsur itu menurut Kuntjaraningrat yang diadaptasi oleh Imam Suprayogo meliputi: kekuasaan, wewenang, dan popularitas.[19] Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan dan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Karena itu, kekuasaan dan kewenangan tanpa popularitas, hanya akan mendorong timbulnya rasa takut atau ketaatan yang bersifat semu. Rasa takut atau ketaatan terjadi karena memang aturan mengatur seperti itu, bukan popularitas dari figur pemimpin.
d. Gaya Kepemimpinan
Istilah kepemimpinan selalu merupakan suatu persoalan yang sangat krusial dalam literatur-literatur kepemimpinan. Pasalnya untuk mencari pemimpin yang baik, para ahli selalu tidak sepakat dalam menentukan ukuran-ukuran yang dijadikan sebagai prasyarat keberhasilan dalam memimpin. Meskipun demikian, gaya serta sikap seseorang yang disesuaikan dengan situasi kepemimpinannya sangat menentukan besar-kecilnya keberhasilan dalam memimpin.
Setiap pemimpin memiliki gaya yang berbeda, apakah demokratis, otoriter, atau kebapak-bapakan. Namun ada satu aspek kepemimpinan yang sangat menonjol, yakni pancaran kewibawaan. Manajer memiliki tingkat kekuasaan yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung jawabnya. Tetapi kekuasaan pemimpin sering diperoleh dari pendapat, hormat serta penghargaan disamping kekuasaan untuk mendominasi dan memerintah.[20] Karena itu Cattel mengatakan pemimpin merupakan orang yang menciptakan perubahan yang sangat efektif dalam kinerja kelompoknya.[21]
Kepemimpinan (leadership) pada dasarnya dapat dibagi kedalam beberapa gaya kepemimpinan. Menurut Gary K. Hines, bahwa dalam memimpin paling tidak ada terdapat tiga gaya, yaitu; gaya otokratik, gaya demokratik, serta gaya kendali bebas.
- Gaya otokratik: pemimpin otokratik membuat keputusan sendiri karena kekuasaan terpusatkan pada satu orang. Ia memikul tanggung jawab dan wewenang penuh. Pengawasan bersifat ketat, langsung dan tepat. Keputusan dipaksakan, dan bila ada komunikasi, maka hanya bersifat top down (atas–bawah), bawahan ditekan, karena itu menjadi takut dan tidak leluasa dalam berprakarsa.
- Gaya demokratik: pemimpin yang demokratik (partisipatif) berkonsultasi dengan kelompok mengenai masalah yang menarik perhatian mereka. Komunikasi berjalan dengan lancar sehingga saran dapat berasal dari atasan (pimpinan) kebawahan, dan sebaliknya dari bawahan keatasan. Bawahan berpartisipasi dalam menetapkan sasaran dan memecahkan masalah. Keikutsertaan ini mendorong komitmen anggota pada keputusan akhir. Pemimpin demokratis menciptakan situasi dimana individu dapat belajar, mampu memantau kinerja sendiri, mengakui bawahan untuk menentukan sasaran yang menantang, menyediakan kesempatan untuk meningkatkan metode kerja dan pertumbuhan pekerjaan serta mengakui pencapaian dan membantu pegawai belajar dari kesalahan.
- Gaya kendali bebas: Pemimpin dengan gaya ini ditandai dengan pemberian kekuasaan pada bawahan. Kelompok dapat mengembangkan sasarannya sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Pengarahan hanya sekedar bahkan tidak ada sama sekali. Gaya ini biasanya tidak berguna, tetapi bisa menjadi efektif bagi kelompok profesional yang bermotivasi tinggi. [22]
1.Gaya direktif: pemimpin yang memiliki gaya direktif pada umumnya membuat keputusan-keputusan penting dan banyak terlibat dalam pelaksanaannya. Semua kegitan tepusat pada pemimpin, dan hanya terdapat sedikit kebebasan bagi orang lain untuk berkreasi dan bertindak, itupun dalam batas-batas yang dikehendaki. Pada dasarnya gaya ini adalah gaya otoriter.
2. Gaya Konsultatif: gaya ini dibangun diatas gaya direktif, namun kurang otoriter dan lebih banyak berinteraksi dengan para staf serta anggota organisasi. Pimpinan lebih banyak berkonsultasi, memberi bimbingan, memotivasi, memberi nasihat dalam rangka mencapai tujuan .
3. Gaya partisipatif: gaya partisipatif bertolak dari gaya konsultatif yang berkembang ke arah saling percaya antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin cenderung memberi kepercayaan pada kemampuan staf untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka, sementara itu kontak konsultatif tetap berjalan . Dalam gaya ini, pimpinan atau manajer lebih banyak mendengar, menerima, bekerjasama, dan memberi dorongan dalam proses pengambilan keputusan.
4. Gaya Delegasi: pemimpin dengan gaya ini mendorong kemampuan staf dalam mengambil inisiatif. Gaya ini dapat berjalan jika staf atau bawahan memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran organisasi. Karena itu pemimpin/manajer kurang berinteraksi dan melakukan kontrol terhadap bawahan secara memadai. [23]
Selain gaya-gaya tersebut, ada juga beberapa gaya yang dikemukakakn oleh Miftah Thoha, yang diyakini sebagai gaya efektif, seperti; gaya eksekutif, gaya pengembangan (develover), gaya otokratis yang baik (benevolent autocrat), serta gaya birokrat.[24] Begitu pula gaya-gaya kepemimpinan yang digolongkan oleh Miftah Thoha sebagai gaya yang tidak efektif, yakni; gaya pecinta kompromi (compromiser), gaya missionari (yang hanya menekankan pada hubungan kerja dan perhatian yang minim terhadap tujuan serta perilaku menyimpang), gaya otokrat, dan gaya deserter (lari dari tugas).[25]
Demikian pula gaya kepemimpinan dari Mc. Gregor’s yang dikenal dengan teori Z yang menghubungkan dua kutub yang berlawanan secara ekstrim (yaitu X dengan teori Y). Teori “Z” menampilkan empat gaya kepemimpinan, mulai dari gaya kepemimpinan terpusat sampai dengan gaya kepemimpinan yang memandang staf atau bawahan sebagai teman/partner kerja.[26]
Karena itu gaya kepemimpinan yang paling ideal adalah gaya kepemimpinan yang didasarkan oleh seberapa jauh seorang pemimpin memanfaatkan semua gaya dengan sebaik mungkin, tentu dengan memperhatikan situasi serta timing yang tepat untuk itu.
Nilai-nilai Islam dalam Kepemimpinan Efektif
Dalam literatur-literatur manajemen banyak dibentangkan prinsip-prinsip pokok yang mendasari perilaku keseharian dari para pemimpin yang dipandang sukses dalam me-manage organisasi mereka. Prinsip-prinsip itu antara lain seperti; seorang pemimpin harus cerdas, memiliki visi yang jelas, penuh inisiatif, rela berkorban, bertanggung jawab, percaya diri, tanggap, empati, inovatif, toleran, sederhana, dan seterusnya.
Di dalam Islam, prinsip-prinsip ini sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap muslim. Sebab tanpa prinsip-prinsip tersebut, umat islam tidak bisa menjadi wakil tuhan (khalifah) untuk mengelola alam jagad ini secara baik, sekaligus tidak dapat menjadi hamba (a’bid) yang muttaqin. Kedua predikat itu (khalifah dan a’bid) tidak dapat diraih oleh seorang muslim kecuali mereka yang memiliki prinsip-prinsip tersebut. Didalam Islam Nilai/prinsip-prinsip itu dapat kita temukan, baik secara tersurat maupun secara tersirat termaktub dalam ayat-ayat Alquran dan hadis. Nilai/prinsip yang termaktub dalam ayat-ayat dan hadis itu antara lain sebagai berikut:
- Cerdas
Dalam Alquran ayat yang mengisyaratkan nilai/prinsip itu, antara lain sebagai berikut:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ (33)
Artinya :
“Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS. Al-Rahman (55): 33).
Ayat diatas mengingatkan manusia bahwa apa saja yang dipikirkan dan dibayangkan dalam bentuk visi dan misi semuanya bisa menjadi kenyataan, asalkan manusia memiliki sulthan (kekuatan/kemampuan). Kemampuan merupakan kriteria dasar bagi setiap pemimpin dalam mengelola serta mengembangkan organisasi/institusi. Kemampuan oleh para ahli dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) jenis.[27] Kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual. Ketiga kemampuan ini harus dimiliki oleh setiap pemimpin di setiap level kepemimpinan. Ia harus mempunyai akal dan pikiran yang cerdas, karena dengan itu ia bisa merencanakan, mengorganisir, dan mengendalikan organisasi secara rasional, tidak menghayal dan membabi buta dalam membuat police atau kebijakan. Dengan berfikir rasional, seorang pemimpin dapat membuat prediksi-prediksi yang visible, sehingga dapat dijadikan dasar dalam bertindak.
Mengandalkan kemampuan intelektual saja bagi seorang pemimpin/manajer tidak akan cukup untuk membawa lembaga/organisasi mencapai kesuksesan. Mengapa demikian ?. Hal ini disebabkan suatu kesuksesan yang diperoleh bukan sekedar karena manajer atau pemimpin mampu menata serta mengembangkan aspek-aspek organisasi tertentu secara rasional, seperti membuat prediksi, ramalan-ramalan, dan prakiraan-prakiraan. Namun lebih dari itu, ada aspek-aspek organisasional tertentu yang membutuhkan penanganan dengan sentuhan-sentuhan emosi, seperti memotivasi bawahan/karyawan, memunculkan rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab terhadap organisasi (sens of belonging and sens of responsibility), membuat kebijakan-kebijakan simpatik, baik terhadap anggota organisasi maupun bagi masyarakat lingkungan sebagai stakeholder. Banyak pemimpin yang gagal mengeksplorasi aspek-aspek emosi ini, yang kemudian berakibat pada demonstrasi dan unjuk rasa karyawan yang tidak menguntungkan bahkan berakibat fatal bagi keberadaan serta keberlangsungan organisasi. Semua manajer/pemimpin tidak menghendaki kejadian seperti itu terjadi dan dialami organisasi yang mereka pimpin, jika saja mereka mau mengembangkan kemampuan atau kecerdasan emosionalnya bersamaan dengan kemampuan intelektual dalam kepemimpinan mereka.
Sama halnya dengan kemampuan spiritual, sebahagian orang sangat menaruh harapan besar terhadap kemampuan ini. Bahwa bila sikap spiritual seseorang muncul, seperti senantiasa mendekatkan diri kepada tuhan, selalu bertawakal kepada-Nya, bertindak dan berbuat karena tuhan, menganggap semua sarwa yang ada adalah milik tuhan serta sadar bahwa pada saatnya nanti semua pekerjaan yang dilakukan pasti akan dimintai pertanggung jawabannya kelak dihadapan tuhan. Kesadaran seperti ini dapat memunculkan perilaku yang positif, seperti berprasangka baik, selalu berbuat yang terbaik, optimis, rela berkorban, iklas dalam menjalankan tugas, kesederhanaan, arif dalam bertindak, humanis, memiliki komitmen yang tinggi, menghargai orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap ini merupakan representasi dari kualitas iman yang dimiliki seseorang.
Orang yang beriman atau kemampuan spiritualnya baik, senantiasa merasa berkewajiban untuk mengawal dirinya dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak berguna, apalagi yang bertentangan dengan pesan-pesan agama. Mereka beranggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan demikian dapat menjauhkan dirinya dari rahmat dan kasih sayang tuhan. Karena itu, kecerdasan spirituallah yang harus memberi arah (visi) bagi kecerdasan intelektual dan emosional seseorang. Jarang orang mempunyai kemampuan/kecerdasan emosional dapat mendorong lahirnya kemampuan/kecerdasan spiritual yang baik. Meskipun begitu, kemampuan spiritual tidak bisa mewakili kemampuan emosional, sebab ada perilaku emosional tertentu seperti kemampuan menjalin hubungan, mampu berkomunikasi secara baik, dan kemampuan memotivasi, tidak sepenuhnya akan diperoleh secara baik dari kemampuan spiritual.
Mengandalkan kecerdasan emosional saja tidaklah cukup, khususnya bagi perkembangan kejiwaan yang berdimensi ketuhanan. Sebab kecerdasan ini lebih berpusat hanya pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial), sementara ada dimensi lain yang tidak kalah penting bagi manusia yang bersifat vertikal. Kemampuan dalam membangun hubungan vertikal inilah yang sering dikenal dengan istilah kecerdasan spiritual (spiritual quotient).[28]
Dalam Alquran dikatakan: “kamu akan ditimpa kehinaan dimana saja kamu berada, kecuali kamu menjalin hubungan secara Vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia”. (QS. Al-Imran (3): 112).
Oleh karena itu, kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual secara simultan harus dimiliki seorang pemimpin, karena ketiga bentuk kemampuan/kecerdasan ini saling mendukung dan melengkapi dalam proses keberhasilan dan kesuksesan seseorang membawa organisasi mencapai tujuan.
Penelitian menunjukkan menurut Agus Ngermanto, bahwa persentase kemampuan kognitif murni (intelektual) yang membuat unggul orang-orang dengan kinerja terbaik hanya mencapai 27 persen, sementara keunggulan emosi mencapai 53 persen.[29] Artinya kecakapan emosional sumbangannya dua kali lipat energinya dari kecakapan intelektual. Sehingga keunggulan dan keberhasilan seorang manajer atau pemimpin 80 persen ditentukan oleh emosi serta kognitifnya. Bila demikian, berarti keberhasilan pekerjaan seseorang yang bintang kinerja baru mencapai titik angka 80. Untuk memenuhi titik sempurna 100 persen mungkin saja harus ditambah dengan kecakapan spiritual sebagaimana disebutkan diatas.
Tiga kemampuan ini berada pada otak manusia, seperti Neocortex (otak rasional) dan Sistem Limbic (otak emosional),[30] serta eksistensi God–Spot(pusat spiritual) yang baru ditemukan tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University.[31] Keberdayaan tiga potensi otak ini secara baik dapat melahirkan manajer atau pemimpin-pemimpin yang efektif.
- Visioner
Pemimpin yang baik harus memiliki visi yang baik dan menunjukkan komitmennya (visioner) sebagaimana Islam menuntut agar umatnya harus beriman kepada Allah dengan iman yang benar “mukhlishina lahuddin al-hunafa’a” (QS. Bayyinah (98): 5). Karena dengan demikian ia akan sampai kepada apa yang dicita-citakan.
- Inisiatif
Prinsip ini bermula dari pemimpin/manajer tidak mempunyai gagasan terkait dengan tuntutan serta perkembangan situasi dalam mengantisipasi perubahan dan laju perkembangan lingkungan . Dalam Alquran Allah mengatakan: “Apabila kamu telah usai (melakukan suatu tugas), maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh tugas/pekerjaan)berikutnya”. (QS. Al-Insyirah (94): 7).
Ayat ini mengisyaratkan prinsip inisiatif, bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya terjebak dalam satu tugas rutinitas saja yang menyita hampir semua waktu/masa tugasnya. Pemimpin/manajer yang efektif harus mampu memunculkan inisiatifnya dalam mendorong dan mengembangkan organisasi yang dipimpinnya sehingga dapat bersaing dan berkompetisi dengan organisasi sejenis dalam lingkungan kompetetifnya. Dengan memiliki kemampuan demikian, lembaga/organisasi yang dipimpinnya tidak akan tertinggal dalam merespons tuntutan perkembangan.
- Rela Berkorban
Pemimpin yang beretika selalu menampilkan i’tikad baik dan tidak serakah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Kualitas kepemimpinannya membuat bawahan atau pengikutnya senang dan menaruh harapan masa depan. Pemimpin dengan kepribadian seperti ini tidak akan tertipu dengan kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Bahkan ia akan rela mengorbankan apa yang dimilikinya sekalipun nyawa taruhannya.
Prinsip ini banyak menghiasi hidup keseharian Rasulullah saw. serta para sahabatnya. Mereka selalu rela mengorbankan apa yang ada pada diri mereka, sekalipun apa yang diberikan itu sesuatu yang sangat mereka senangi. Manajer/pemimpin demikian selalu memandang bahwa hidup ini adalah perjuangan dan pengabdian. Dalam Alquran Allah berfirman “wa jaahidu bi amwaalikum wa anfusikum fi sabilillah” (Berjuanglah dengan harta dan dirimu dijalan Allah)(QS At-Taubah (9) :41).
- Bertanggung Jawab
Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda ”setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya” ( Riwayat Bukhari dan Muslim). Jadi seorang manajer/pemimpin harus menjalankan prinsip ini untuk memberikan pertanggung jawabannya, baik itu bertanggung jawab (memberi laporan) kepada atasannya maupun bertanggung jawab terhadap bawahan, masyarakat, pemerintah (stakeholder), lebih-lebih kepada Allah-tuhan pencipta alam semesta.
- Percaya Diri
Prinsip percaya diri sangat terkait dengan sejauh mana seorang pemimpin merasa pahit getirnya. Atau dengan kata lain seberapa besar pengalaman yang dimiliki dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan/manajerial dan kemasyarakatan. Dengan mengalami serta menjalankan tugas-tugasnya secara langsung, ia akan melakukan proses trial and error. Karena itu seorang manajer/pemimpin selain harus memiliki segudang pengalaman juga harus menimbulkan rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi dalam merealisasikan visi/misi (ide-ide) yang dimiliki.
Dalam Islam, percaya diri sangat berhubungan dengan kadar iman seseorang. Bila imannya kepada Allah tinggi, maka rasa percaya diri menjadi besar. Namun bila kadar imannya rendah, maka percaya dirinyapun menjadi rendah pula. Dalam Alquran dikatakan: “apabila kamu telah selesai melaksanakan suatu pekerjaan maka bertawakallah kepada Allah”(QS.al- Imran (3): 159).
Orang yang percaya diri imannya selalu menjadi penentu, ia percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan melaksanakan atau mengelola sesuatu urusan tidak tergantung dari seberapa baik ide yang dimiliki serta seberapa besar kemampuan dan ketrampilan dalam membuat perencanaan kegiatan, melaksanakan, dan mengendalikannya. Tetapi keberhasilan dan kegagalan selain karena memenuhi syarat-syarat diatas, juga harus memiliki optimisme bahwa ditangan tuhanlah semua urusan dikembalikan, berhasil atau gagal. Kepercayaan demikian itulah yang akan memunculkan penguatan-penguatan tertentu secara spiritual yang awalnya tidak disadari.
- Responsif
- Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu merasa bahwa semua orang pasti mempunyai kebutuhan. Kebutuhan yang diharapkan manusia itu ada yang sama dan ada pula yang tidak sama. Pemimpin/manajer yang baik pasti selalu berusaha untuk mengetahui kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan bawahan maupun kebutuhan orang yang dilayani (pelanggan) dan berusaha sedapat mungkin agar dapat merealisasikannya. Proses dimana seorang manajer/ pemimpin berusaha mengetahui dan merealisasikan kebutuhan bawahan maupun kebutuhan pelanggan itulah biasanya disebut responsif (tanggapa).
Bila orang yang tingkat taqarrub-nya kepada Allah sudah baik, maka ia akan memandang semua orang sama meskipun mereka berbeda dalam prinsip maupun idiologi. Apapun perbedaannya, ia selalu menyadari bahwa semua sarwa yang ada adalah ciptaan Allah termasuk manusia. Pandangan ini yang melahirkan hikmah ketidakberbedaan (undiversity wisdom) dan membuat seseorang bijaksana dalam setiap proses pengambilan keputusan.
- Empati
Sikap seperti ini disinyalir dalam Alquran “ Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikaf keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al-Imran (3) : 159).
Empati adalah anugerah dari Allah berupa bisikan hati dan pikiran yang menyejukkan dikala berhadapan dengan setiap orang. Manajer/pemimpin yang empati selalu dekat dengan bawahan, merasakan setiap denyut nadi karyawannya, lapang dalam bertindak, dan keputusannya selalu populis dan tidak tergesa-gesa (bijaksana).
- Inovatif
Untuk sampai pada taraf ini, seorang pemimpin harus cerdas terutama dari sisi intelektual. Karena seseorang yang secara intelek mampu, ia dapat menciptakan sesuatu yang baru atau mampu mendisain sesuatu yang lama (merekayasa) dengan kemasan dan tampilan baru.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk berperilaku sesuai dengan perilaku (akhlak) tuhan (takhallaqu bi akhlaqillah). Diantara perilaku (akhlak) tuhan itu seperti yang disebutkan dalam Alquran yakni Maha Mengetahui, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Maha Sejahtera dan seterusnya sampai pada Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr (59): 22-24). Menurut para ulama semuanya ada 99 nama yang biasa dikenal dengan sebutan “Asmaul Husna”.
Terkait dengan 3 ayat di atas Hasan Langgulung mengomentari, bahwa dalam Islam manusia menyembah dalam pengertian umum bermakna mengembangkan sifat-sifat dimaksud menurut perintah dan petunjuk tuhan. Dengan berbuat demikian, manusia menjadi suci, karena ia telah meniru sifat-sifat tuhan. Sifat-sifat itu diberikan kepada manusia dalam bentuk terbatas, sebab bila tidak manusia akan mengaku dirinya sebagai tuhan.[34]
Prinsip inovatif yang terkait dengan akhlak tuhan dalam ayat-ayat tuhan yakni al-khalik (pencipta). Pencipta dalam konteks ini bukan berarti sama persis seperti pencipta al-khalik, namun lebih merupakan daya kreasi manusia yang nisbi dalam meniru sifat-sifat tuhan yang mutlak itu.
10. Toleran
Sikaf toleransi bagi seorang manajer/pemimpin dalam mengelola suatu organisasi juga tidak kalah penting bila dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain. Prinsip ini memungkinkan pemimpin melakukan tugas-tugas koordinasi secara baik dan berkesinambungan, terutama pada setiap level manajemen yang sama. Sikaf toleran dalam banyak hal dapat memuluskan jalan diantara dua pendapat yang berbeda. Sering pimpinan bagian/divisi/unit secara superior hanya mengandalkan bagian, divisi, atau unitnya yang terbaik, dan menganggap bagian, divisi, atau unit lain imperior dan tidak baik.
Didalam Alquran konstatasinya demikian “Hai orang-orang yang beriman Janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang memperolok–olok” (QS. Al- Hujurat (49) : 11).
Bila sikaf atau prinsip ini tumbuh, maka dampaknya akan dapat memperburuk hubungan-hubungan kerja. Hubungan diantara sesama dalam organisasi dapat terbina dengan baik, manakala semua pihak bisa bersikaf toleran, saling mendukung, serta dapat mengabaikan kelemahan-kelemahan sesama. Organisasi bisa langgeng dan berkinerja secara maksimal, bilamana diantara sesama karyawan, karyawan dan pemimpin, maupun sebaliknya bisa saling menjaga, memelihara, dan bertenggang rasa. Bahkan lebih dari itu saling memberi pertolongan diantara sesama.
Toleransi merupakan suatu sikaf positif yang mestinya harus selalu dipelihara dan dikembangkan pada setiap organisasi. Karena hanya dengan sikaf-sikaf demikian organisasi selain akan stabil juga dapat merealisasikan program-programnya secara baik dan berkelanjutan.
11. Sederhana
Prinsip kesederhanaan merupakan suatu unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menempatkan posisinya ditengah-tengah orang yang ia pimpin. Maksudnya seorang pemimpin tidak sewajarnya hanya dekat dengan orang-orang yang berada pada level atas saja, tapi juga bisa mendengar dan melihat dari dekat problema-problema yang terjadi pada orang-orang yang ada pada level bawah. Dengan menempatkan diri secara tepat, berarti seorang pemimpin telah menunjukkan sikaf kesederhanaan.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk selalu bersikaf sederhana dalam setiap kali bertindak, karena hanya dengan kesederhanaan kita dapat menjadi penengah yang netral, yang tidak merugikan orang lain dikala mengambil suatu keputusan.
Dalam Alquran dikatakan: “Dan kami jadikan kamu umat yang menengah, agar menjadi saksi atas manusia” (QS. Al- Baqarah (2) : 143).
Pemimpin yang menengah dalam arti sederhana baik dalam tindak maupun peri lakunya, ia akan mobile dan lebih pleksibel dalam mengelola organisasi. Pemimpin yang sederhana bisa menerima pendapat dari kalangan atas sekaligus dapat mengakomodasi keinginan-keinginan orang-orang bawah. Sikaf inilah yang ditunggu-tunggu dari pemimpin zaman sekarang.
12. Efektif dan Efisien
Dalam manajemen, efektifisien (efektif dan efisien) merupakan parameter bagi keberhasilan atau kegagalan dari suatu pekerjaan. Suatu kegiatan dikatakan produktif jika telah terjadi efisiensi pengelolaan masukan (input) dan efektif dalam setiap pencapaian sasaran. Efektifisien yang tinggi akan menghasilkan produktifitas yang tinggi.
Dalam suatu lembaga, faktor ini sangat erat kaitannya dengan proses pemanfaatan sumber daya yang dimiliki dalam usaha mencapai tujuan dari lembaga/organisasi. Sumber daya dimaksud antara lain seperti; biaya, tenaga kerja, energi, material, waktu, dan teknologi. Bila semua sumber daya ini di-manage secara baik sesuai takaran kebutuhan dari masing-masing program/kegiatan, maka tidak akan terjadi pemborosan yang memungkinkan produknya menjadi mahal (high cost) sehingga susah dijangkau oleh kalangan ekonomi lemah.
Dalam Alquran nilai/prinsip ini disinyalir sebagai berikut: “ Dan janganlah kamu jadikan kedua tanganmu terbelenggu pada lehermu(kikir) dan jangan pula terlalu mengulurkannya(boros), karena itu kamu akan menjadi tercela dan menyesal”(QS. Al-Isra’(17): 29).
Kikir dalam arti kurang mendayagunakan ataupun tidak memanfaatkan sebagian sumber daya yang dimiliki organisasi, maka akan berakibat pada tidak tercapainya hasil yang diinginkan, karena itu tingkat efektifitas tidak tercapai. Begitu pula dengan pemborosan dalam menggunakan sumber daya pasti akan berdampak pada produksi berbiaya tinggi. Dengan demikian terjadilah inefisiensi dalam proses pengelolaan sumber daya organisasi.
13. Keteladanan
Hampir disetiap organisasi terutama dinegara kita, pemimpin/manajer selalu dijadikan contoh (panutan). Sikaf ini tidaklah berlebihan, sebab corak budaya kita bersifat pathernalistik selain itu pemimpin/manajer dianggap sebagai orang yang memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan mereka (bawahan). Karena itu dalam beberapa lembaga/organisasi, para pemimpin/manajer biasanya melakukan beberapa peranan strategis sehingga mereka selalu diapresiasi secara baik. Peranan-peranan dimaksud antara lain seperti; bertindak sebagai tokoh (figurhead), pemimpin (leader), penghubung (liason), juru bicara ( the spokes person), pihak yang menyelesaikan gangguan (turbulance handler), perunding (negotiator),[35] dan lain-lain. Peranan-peranan itu menghendaki para bawahan senantiasa menghormati dan menghargai setiap langkah dan kebijakan yang diambil setiap pemimpin, dengan tetap mengedepankan azas-azas kebersamaan, kejujuran, dan keadilan, serta tidak bersikaf like and dis like teristimewa dalam menilai dan mendistribusikan tugas dan tanggung jawab.
Di dalam Islam, Nabi Muhammad saw. sebagai rasul dan pemimpin umat oleh Alquran dipandang sebagai pribadi yang patut dicontoh. Sebab beliau dianggap telah sukses dalam menjalankan tugas-tugasnya secara baik dengan mengedepankan sikaf-sikaf terpuji yang semestinya ditiru. Dalam Alquran dikatakan: “ Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu”(QS. Al-Ahzab (33): 21).
14. Terbuka
Keterbukaan (transparan) sesungguhnya merupakan suatu sikap yang dalam manajemen modern sangat dianjurkan keberadaannya dalam suatu lembaga/organisasi. Masyarakat dewasa ini terutama mereka yang pendidikannya relatif baik, terkadang hanya percaya pada organisasi yang terbuka melaporkan seluruh kegiatannya secara berkala kepada masyarakat (stakeholder) sebagai mitra kerjanya. Organisasi akan berkinerja dan berkembang dengan baik manakala para stakeholder merespons semua kegiatan organisasi secara baik pula. Karena itu agar suatu organisasi eksis dimasyarakat dan bisa berkompetisi secara sehat, maka seluruh pihak yang terlibat didalamnya khususnya pada level pimpinan (manajemen) harus dapat bersikap transparan dalam mengelola organisasi, sehingga kredibilitas lembaga tetap terjaga.
Di dalam Islam, sikaf transparan atau membuka (membeberkan dan memberitahukan) apa yang diketahui tentang organisasi yang dipimpinnya kepada masyarakat merupakan suatu sikap yang terpuji. Dalam Alquran disebutkan:”Terhadap nikmat tuhanmu, maka hendaknya kamu sebut-sebutkan (informasikan)” (QS. Adh-Dhuhaa (93): 11).
Selain itu, rasul sebagai pemimpin umat disuruh untuk menyampaikan apa yang telah diperoleh agar diberikan kepada orang lain (masyarakat). “ Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu” (QS. al-Maidah (5): 67) menginformasikan secara transparan merupakan sikap pertanggung jawaban rasul sebagai pemimpin. Kata Tabligh dalam ayat diatas yang berarti menyampaikan atau menginformasikan adalah satu dari 4 (empat) sifat bagi seorang rasul (pemimpin), yakni siddiq (benar), amanah (dipercaya), fathanah (mampu), dan tabligh (menyampaikan). Bila seorang pemimpin/manajer mampu mengaplikasikan keempat sifat rasul ini, maka sesungguhnya ia telah mengadopsi prinsip-prinsip manajemen modern.
0 komentar: